Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya
4…
Cinta
yang sejati itu tidak akan pernah menyakiti, ia akan senantiasa menghiasi
kehidupan kita dengan bunga-bunga kehidupan nan indah…
Kata-kata
itu senantiasa terngiang dalam pikiran Haris, begitu berarti makna yang
tersirat dari perkataan Kak Shafy itu. Memang benar bahwa cinta itu tidak akan
pernah menyakiti, jika ia memang cinta sejati yang sebenarnya, bukan cinta semu
nan palsu yang tentu akan menyakiti siapapun yang merasakannya. Ia memang
berniat menemukan jawaban akan pertanyaan yang hingga sekarang ini memang belum
bisa ia temukan jawaban yang paling memuaskan untuk hal itu. Yah, perjalanan
untuk mencari jawaban pun akan senantiasa ia lalui…
≡|||≡
Kampus
hari ini cukup sepi, tak terlalu banyak aktivitas mahasiswa yang terlihat hari
ini. Wajar memang, karena mulai hari ini kampus memasuki masa minggu tenang
sebagai waktu untuk para mahasiswanya mempersiapkan diri menghadapi ujian
akhir. Tak terkecuali Haris, hari ini memang tidak ada kuliah atau agenda
apapun di kampus namun ia tetap pergi ke kampus untuk belajar dan mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi ujian akhir.
Saat
itu ia sedang berada di sebuah gazebo fakultasnya, di sekelilingnya terlihat
sepi. Hanya sedikit mahasiswa-mahasiswi yang ada di sana, kebanyakan memang
juga sedang belajar. Haris duduk santai di bawah sebuah pohon besar nan
rindang, menghadapi sebuah catatan pelajaran sambil berusaha mengingat-ngingat
pelajaran-pelajaran yang sudah didapatkannya.
Pagi
terasa menemani dengan setia keberadaannya di sana, membuat hawa sejuk tak
terkira nikmatnya berkelakar di hadapannya. Damai dan sejuk, ia rasakan merasuk
dalam dirinya. Nikmat sekali diberikan Allah seperti ini, walau kebanyakan dari
manusia khususnya umat muslim yang lupa untuk bersyukur kepada Allah. Bahkan
seringkali mencampakkan hukum Allah dalam menjalani kehidupannya.
Tiba-tiba…
“Assalamualaikum!”
sebuah suara membuat Haris bangkit dari lamunannya akan kenikmatan Allah yang
sedang berusaha diresapinya.
“Wa..wa..waalaikumussalam!”
jawab Haris terbata karena kaget. Dilihatnya ternyata yang berdiri di
hadapannya adalah sahabatnya sendiri, Rafi.
“Melamun
aja, mikiran apa pak?”
“Oh,
ga papa… Lagi menikmati alam aja! Tumben ke sini, ngapain?”
“Tuh..”
jawab Rafi singkat sembari menunjukkan tangannya kepada seseorang.
Disana
ada Devi yang sedang berbicara dengan seorang temannya. Teman perempuannya yang
terlihat sangat beda jauh penampilannya dengan Devi. Jika Devi tidak memakai
kerudung untuk menutupi kepala, rambut, dan bagian dadanya maka temannya itu
memakai kerudung besar dan lebar rapi menutupi kepala hingga ke bagian dadanya.
Selain itu Devi yang hanya memakai kaos tipis serta celana jins yang sangat
ketat dan terlihat lekuk tubuhnya maka teman perempuannya itu memakai jilbab
atau sering disebut sebagai gamis yang panjang serta lebar hingga mencapai
tanah dan tak sedikitpun terlihat lekuk tubuhnya.
Haris
sempat terpana melihat kedua orang itu. Jika seorang terlihat tidak begitu bisa
menjaga kehormatan dan iffah dirinya, terlihat dari cara berpakaiannya maka
yang lain justru terlihat sangat menjaga kehormatan dan iffah dirinya.
Pakaiannya yang tertutup rapat cukup mewakili betapa ia sangat menjaga
kehormatan dirinya sendiri.
Sepertinya
antara Devi dan juga teman perempuannya itu sedang terlibat pembicaraan yang
serius, bahkan tak jarang Devi seperti berwajah marah dan juga memaksa kepada
teman perempuannya itu. Rafi yang sedari tadi berada di samping Haris pun
tiba-tiba dipanggil oleh Devi untuk menuju ke tempat dimana Devi dan teman
perempuannya itu berada. Kelihatannya ada sedikit masalah, karena merasa ada
yang tidak beres, Haris pun mengikuti Rafi menuju tempat kedua perempuan itu
berada.
“Ada
apa Dev?” tanya Rafi kepada Devi.
“Ini
loh, Fatimah susah banget buat dimintai tolong!” keluh Devi.
“Memangnya
minta tolong apa?”
“Aku
minta tolong supaya dia menggantikan aku untuk bisa maju dalam lomba menyanyi
pekan seni tingkat kampus minggu depan! Karena kami berasal dari fakultas yang
sama dan juga cuma dia satu-satunya orang yang kupercaya bisa menggantikanku,
tapi dia ga mau ternyata!” jelas Devi.
“Oh,
gitu. Lha, kamu kenapa ga mau Fat? Aku juga pernah tau bahwa kamu punya suara
yang sangat bagus waktu semester lalu kamu ikut lomba yang sama dan menjadi
pemenang pertama di lomba itu!” tanya Rafi kepada Fatimah.
“Itu
kan dulu, sekarang kan udah ga seperti dulu lagi! Udah beda!” jawab Fatimah
tenang.
“Apa
bedanya? Apa salahnya menyanyi?” sahut Devi yang mulai marah kepada temannya
itu.
“Tentu
ada bedanya Vi, tidak ada salahnya memang menyanyi tapi ada pengecualian
sedikit untuk kita, para wanita. Karena suara kita yang dibuat-buat,
mendayu-dayu itu mampu membuat para kaum pria terangsang dan bisa menimbulkan
pikiran yang macam-macam juga penyakit hati di dalam hatinya!” jelas Fatimah.
“Ah,
itu kan kata kamu aja? Lagian yang salah juga para kaum pria, kenapa juga
mereka berpikiran yang macam-macam?” bantah Devi.
“Devi,
walau bagaimanapun, kita para kaum wanita juga turut andil dalam merusak kaum
pria jika kita membiarkan apa-apa yang ada dalam diri kita ini, apakah itu
badan, suara, aurat, kecantikan, dan lainnya seenaknya ditampilkan di depan
mereka-mereka, para kaum pria yang bukan mahram kita. Bukankah wanita itu
adalah sesuatu yang sangat berharga, dari rahim kita lah lahir para generasi
baru, generasi-generasi yang nantinya akan menggantikan kita, bahkan wanita lah
yang menjadi tolak ukur baik atau tidaknya sebuah negara, jika wanitanya baik
maka baik pulalah negara itu dan jika wanitanya buruk maka tentu buruklah
negara itu.” jawab Fatimah.
“Kita
semua beragama Islam, kita semua berazzam kepada Islam dan karena Islam yang
kita azzami, yang kita yakini memiliki seperangkat peraturan, seperangkat tata
tertib dalam menjalani kehidupan ini, maka tentu sudah menjadi kewajiban kita
semua untuk patuh dan taat kepada aturan itu. Termasuk ketika Islam menurunkan
seperangkat aturan untuk para wanita muslimah, maka juga menjadi sebuah
keharusan bagi kita untuk mentaatinya suka ataupun tidak. Karena sebenarnya,
aturan Islam yang ada khususnya untuk para wanita seperti misalnya menutup
aurat, pakaian yang diperbolehkan dan diwajibkan dipakai oleh seorang muslimah
itu seperti apa, bagaimana etika wanita berbicara di depan pria yang bukan
mahramnya, dan lain sebagainya kesemuaya adalah untuk memuliakan para wanita
itu sendiri, untuk mencegah agar para kaum wanita tidak jatuh ke dalam jurang
kenistaan, yakni hanya menjadi barang yang tidak berharga, pemuas nafsu pria,
mainan para media yang tidak bertanggung jawab, ekploitasi tubuh dan lainnya.”
lanjut Fatimah sambil tersenyum kepada Devi.
Sejenak
keheningan mewarnai mereka berempat usai mendengar penjelasan dari Fatimah.
Penjelasan dari Fatimah tadi agaknya sangat mempengaruhi dan membingungkan
Devi. Disatu sisi, ia sangat memikirkan apa yang dikatakan Fatimah tadi namun
di sisi lain, ia benci Fatimah menjadi seperti ini, dia berubah, tidak seperti
Fatimah yang dulu lagi, dan ia menjadi sangat berbeda dengan dirinya. Sedangkan
Haris, ia cukup kagum dengan penjelasan Fatimah, tidak menggurui dan tepat
sekali susunan katanya agar seolah-olah apa yang disampaikannya itu juga untuk
dirinya sendiri bukan malah membuat orang yang mendengarkannya menjadi objek
yang bersalah.
“Jadi
intinya kamu tetap ga mau buat gantikan aku untuk lomba nanti?” tanya Devi lagi
untuk meyakinkan dirinya.
“Aku
sih mau tapi aturan agama melarangku, ya mau gimana lagi? Maaf ya, aku ga
bisa.”
“Ya
sudah, ga masalah.”
“Semoga
ini ga mempengaruhi kedekatan kita?” senyum Fatimah diberikannya kepada Devi.
“Iya,
iya. Ya udah kalo gitu, aku sama Rafi mau pergi dulu, mau cari temen-temen lain
yang mungkin bisa gantikan aku. Ayo Fi!” kata Devi sambil pergi menjauh dari
mereka.
“Iya!
Udah ya Ris, aku temenin Devi dulu! Wassalamualaikum!” kata Rafi kepada Haris.
“Ok,
waalaikumussalam!” jawab Haris.
Akhirnya
Devi dan Rafi pun pergi menjauh, meninggalkan Haris dan Fatimah yang agak
canggung satu sama lain. Haris pun melihat kepada Fatimah yang berada di
sebelah kanannya, agak jauh memang.
“Kalo
gitu ana juga harus pergi, wassalamualaikum!” kata Fatimah tiba-tiba sambil
menangkupkan kedua tangannya ke depan dan tentu saja sambil menundukkan
pandangannya yang otomatis juga membuat Haris melakukan hal yang sama.
“Oh
iya, waalaikumussalam!” jawab Haris singkat seraya tetap menundukkan
pandangannya.
Dan
Fatimah pun pergi, Haris sempat melihat kepergiannya dari jauh. Jilbabnya yang
panjang dan lebar pun melambai-lambai, sungguh wanita yang sangat hebat. Haris
salut dengan keistiqamahannya dalam menjaga iffah dirinya serta menjaga setiap
perbuatannya agar selalu terikat dengan hukum syariat Islam dalam kondisi
apapun, sungguh akhwat yang menakjubkan. Kemungkinan akhwat itu pun kenal
dengan dirinya, walau hanya sebatas tahu sedikit tentangnya yakni bahwa ia
adalah salah satu aktivis dakwah, terlihat ketika ia menggunakan kata “ana”
kepadanya tadi. Kata-kata yang jarang digunakan oleh orang-orang yang tidak
terbiasa menggunakannya, kebanyakan hanya oleh dan kepada sesama aktivis dakwah
lah kata itu digunakan, jarang sekali digunakan kepada orang-orang biasa.
Bukannya
ada perbedaan atau diskriminasi, tapi jika kita berbicara dengan memakai
kata-kata yang jarang digunakan atau diketahui oleh lawan bicara kita yang
dalam hal ini ia belum menjadi aktivis dakwah maka komunikasi akan menjadi
sangat tidak efektif, apalagi dakwah juga sangat erat hubungannya dengan
komunikasi. Salah seorang sahabat Rasulullah, Mush’ab bin Umair sudah
memberikan kita semua sebuah contoh tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan
baik kepada orang awam atau orang yang belum terlalu mengenal Islam untuk
menyampaikan Islam kepadanya dengan baik dan juga mudah diterima.
Namun,
tentu saja penyampaian Islam dengan komunikasi yang baik akan menjadi tidak
bermakna jika penyampainnya pun ternyata mendistorsi makna sejati dari Islam
itu sendiri dalam artian, agar Islam diterima maka beberapa hal dalam Islam
yang “dianggap” mengerikan dihilangkan dan tidak disampaikan. Maka hal ini
sangat berlawanan dengan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah, tidak pernah
sekalipun beliau mengurangi makna Islam itu sendiri agar orang-orang lain mau
menerimanya dengan cepat dan dalam jumlah banyak.
Jika
memang menyembah patung berhala itu adalah sesuatu yang diharamkan maka
Rasulullah mengatakannya dengan tegas dan lantang walaupun hal itu membuat
banyak orang menjadi antipati dengan Islam dan menganggap Rasulullah beserta
Islam adalah agama setan yang menyerang Tuhan-Tuhan berhala mereka sehingga
sudah pasti pada waktu itu banyak sekali masyarakat Mekkah yang tidak mau masuk
Islam. Jika memang hukuman razam dan cambuk wajib diberikan kepada para
penzina, hukuman potong tangan kepada pencuri, atau hukuman qisash kepada
pembunuh maka itulah yang pasti Rasulullah laksanakan mengingat itu adalah
perintah langsung dari Allah melalui firmanNya, walau hal itu dianggap sebagai
sesuatu yang mengerikan, tidak berprikemanusiaan, Islam adalah agama yang
kejam, dan lainnya oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam maka Rasulullah
tidak terpengaruh dan tetap melaksanakannya. Atau jika memang menjadi sebuah
kewajiban kepada Rasulullah dan seluruh umat Islam untuk taat kepada aturan
Islam, suka ataupun tidak maka tentu Rasulullah pun tetap melakukannya dan
menyuruh kepada umatnya untuk taat kepada Allah beserta aturanNya secara
menyeluruh dalam artian mengambil seluruh apa yang diperintahkan Allah, tidak
setengah-setangah.
Sungguh
hebat akhwat itu, jika apa yang dikatakan Rafi benar bahwa semester lalu ia
masih ikut lomba menyanyi itu dan belum menjadi seperti sekarang artinya
perubahan yang terjadi pada dirinya terjadi belum lama ini. Bisa dipastikan
mungkin bahwa ia memakai jilbab dan kerudung yang sedemikian rapatnya juga
baru-baru ini atau bisa jadi ia pun mengkaji Islam juga baru dalam waktu yang
singkat ini. Namun, sungguh sangat mengagumkan bahwa walau dalam waktu yang
cukup singkat tapi keistiqamahan dan rasa keterikatannya kepada hukum-hukum
syariat Islam sudah sangat tinggi. Padahal banyak aktivis dakwah yang sudah
tersadarkan oleh hukum-hukum Islam namun keterikatannya kepada hukum syariat
masih sangat rendah dan menyedihkan. Sangat memalukan untuk seorang aktivis
dakwah…
Haris
mulai berpikir, tidak mungkin jika seseorang mampu bertahan atas sesuatu tanpa
didasari sesuatu, tanpa ada sumber yang mampu memberikannya kekuatan untuk
tetap teguh memegang apa yang diyakininya, dan tanpa disadari oleh pemikiran
dan perasaan yang kuat bahwa hal yang diyakininya itu benar. Bahkan tidak
mungkin tanpa sesuatu yang sangat kuat ia berani mengambil resiko bahwa ia
kemungkinan bisa kehilangan teman yang sangat dekat dengannya akibat
pemahamannya tentang Islam itu, artinya ada sesuatu yang lebih penting lagi
daripada sekedar kehilangan atau mendapat anggapan buruk dari seorang manusia,
seorang teman. Hal yang lebih penting daripada perasaan cinta terhadap sesama
manusia…
Sepertinya,
keping-keping jawaban dari pertanyaannya mulai hadir dihadapan Haris. Namun,
jawaban yang sempurna belum bisa ia dapatkan karena keping-keping jawaban masih
belum terkumpul semuanya, jika sudah terkumpul dan disatukan maka tentu nanti
akan menjadi sebuah jawaban yang sempurna. Cepat atau lambat, Haris yakin pasti
bisa menemukan jawaban itu.
Tiba-tiba
ada sebuah sms yang masuk ke dalam HP nya. Ternyata SMS dari Kak Shafy,
bunyinya…
“Salam.
Akhi, anak dri Ust. Ilyas sdng drawat di RS krna trkena DBD dn skrng keadaanx
sdg kritis. Mhon doanya spy cpat smbuh. Insya Allah mlam ini ba’da isya ana mw
mnjenguk bliau dn ank bliau, antm bsa temani ana?”
Sontak
Haris pun kaget, anak dari Ustadz Ilyas tiba-tiba masuk rumah sakit karena
terkena demam berdarah. Dia sendiri baru beberapa hari berkunjung ke rumah
beliau dan dilihatnya anak beliau sehat-sehat saja, tapi hari ini benar-benar
tidak terduga. Memang tidak ada yang bisa memastikan kapan manusia akan
mendapat cobaan dalam hidupnya seperti penyakit, kematian, meninggalnya
orang-orang yang kita cintai dan lainnya. Dan seharusnya manusia sadar, karena
hal itulah manusia harus lebih beriman dan bertakwa kepada penciptanya.
SMS
itu langsung dibalasnya dengan jawaban yang singkat.
“Salam.
Insya Allah bisa, nanti ana jemput sebelum Isya di kos antum!”
Dan
sepertinya malam ini pun akan memberikan Haris sebuah pelajaran yang sangat
berharga dan tidak akan pernah terlupakan dalam perjalanan hidupnya.