Sabtu, 01 Desember 2012


Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya


3
Malam itu Haris sudah pulang dan berada di kosnya, namun tak seperti biasa. Kali ini ia sendiri tanpa ditemani Rafi, sahabat sekaligus teman satu kamarnya. Memang tak biasa jika Rafi pergi dan belum pulang juga hingga malam seperti ini, kecuali memang ada satu keperluan seperti mengerjakan tugas, organisasi, dan lainnya. Tapi, seingat Haris akhir-akhir ini, Rafi tidak lah berada dalam posisi seseorang yang sibuk, terlihat jelas bahwa kegiatannya begitu santai. Belum ada tugas-tugas yang baru dan juga organisasi yang diikutinya belum mengadakan acara dan kegiatan lagi.
Seperti biasanya, setelah shalat Isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, ia pun melewati malam itu dengan membasahi bibir serta menghiasi perkataannya dengan firman-firman Allah yang mulia, sembari hanyut dalam penghayatan terhadap makna tanpa celah keburukan dari kata-kata sang Maha Pencipta itu. Terlewat barisan kata per kata dengan kesempurnaan paling agung tiada cacat sedikitpun, dikawal dengan bacaan penuh penghayatan dari seorang makhluk lemah lagi hina. Al-Qur’an, kitab petunjuk bagi umat muslim khususnya dan manusia pada umumnya. Kandungannya begitu sempurna, peraturan hidup yang digariskannya sebagai aturan yang “seharusnya” ditaati oleh segenap makhluk hidup bernama manusia di dunia ini tanpa alasan untuk tak mentaatinya sedikitpun. Sayangnya, peraturan hidup itu dibuang dan tidak dipedulikan oleh kebanyakan manusia di dunia ini sehingga keluarlah mereka semua dari fitrah hidup yang harusnya melekat di diri mereka. Betapa menyedihkannya…
Ya, Islam tidak hanya berbicara tentang individu dengan Tuhannya saja namun juga berbicara permasalahan muamalah antar manusia di dunia ini yang peraturannya lengkap tertulis di Al-Qur’an dan juga telah dicontohkan oleh seorang manusia yang “seharusnya” juga menjadi idola semua manusia, yakni Rasulullah Saw. Islam mengatur seluruhnya, dari aspek individu, ibadah, politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lainnya. Tidak ada aspek kehidupan manusia yang bisa luput dari aturan Islam. Karena Islam itu sempurna.
Dan malam ini, Haris pun masih terus larut dalam penghayatannya…
|||
“Sampai ketemu besok pagi ya di kampus?”
“Oke.”
“Makasih banget buat hari ini, hati-hati di jalan ya? Langsung istirahat aja!”
“Insya Allah, makasih juga! Ok, sampe ketemu besok di sekolah ya? Wassalamualaikum.”
“Waalaikumussalam”, dan Devi pun berjalan masuk ke rumahnya.
Mereka berdua, Rafi dan Devi baru saja selesai “berkencan” di sebuah Mall di kota itu. Setelah jam kuliah berakhir, ba’da ashar tadi mereka pun langsung berangkat menuju mall itu. Hingga ba’da isya mereka baru pulang dari acara mereka.
Betapa menyenangkannya dunia ini ketika dua sejoli ini merasakan perasaan cinta satu sama lain yang mungkin bagi mereka itu adalah cinta sejati. Lalu sebenarnya apa cinta sejati itu? Seperti apa? Dan dimana kita bisa mendapatkannya?
Dan malam pun hening tanpa suara, sang rembulan menutup malu wajahnya dalam balutan lembut sang awan. Malam ini begitu hening, tenang, dan damai. Bersahabat dengan hati dan membelainya dengan lembut. Hati pun tenang tanpa gundah sedikitpun, ketenangannya bagai lautan indah yang tidur tanpa gelombang. Rafi pun tersenyum dalam perjalanan menuju kosnya, begitu indah hari ini baginya. Cinta yang disambut, bahagia melihat orang yang dicintai berbahagia, bahagia dekat dengan orang yang dicintai, dan lainnya. Mungkin jika ia meninggal malam ini pun tidaklah apa-apa karena setidaknya ia sudah melewati malam yang sangat berbeda dari kehidupannya yang biasa namun begitu membahagiakan baginya.
Rafi pun tiba di kosnya…
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam.” Haris menjawab.
“Dari mana Fi? Kok tumben baru pulang?”
“Habis jalan sama Devi, tadi temenin dia beli sesuatu.” Rafi menjawab dengan santainya.
“Hah Devi? Kenapa?” Haris pun sontak terkaget.
“Yah… payah kamu ini Ris! Belum dengar berita di kampus yah kalo aku udah jadian sama Devi, baru tadi pagi!”
“Jadian? Pacaran maksudnya?”
“Yup, dan tahu ga ternyata Devi itu orangnya menyenangkan dan begitu baik hati?”
“Ya bukan itu masalahnya Fi, tapi apa kamu yakin menempuh jalan seperti ini? Dengan berpacaran?”
“Apa salahnya? Ini kan sebagai jalan perkenalan sama dia, kali aja kami cocok hingga bisa jadi suami istri nantinya?”
“Terus, kalo misalnya ga cocok gimana?”
“Insya Allah cocok lah!”
“Tapi Fi…”
Namun, perkataan Haris dipotong oleh Haris.
“Udah, aku lagi malas sama cape buat diskusi sama kamu, lain kali aja ya? Aku mau bersih-bersih diri dulu nih! Mandi! Ok?”
Dan seketika Rafi pun beranjak pergi menuju kamar mandi kos mereka. Seperti biasa, Haris pun terdiam dalam lamunannya, ditemani dengan berbagai macam pikiran, pertanyaan, dan kebingungan akan sahabatnya yang satu ini. Sahabat yang sangat ia sayangi ini, tentu ia tidak ingin sahabatnya ini menempuh jalan yang salah dalam hidupnya.
Entahlah, ia bingung harus seperti apa karena disatu sisi ia pun belum menemukan jawaban akan pertanyaan yang ia ajukan sendiri kepada dirinya. Kak Shafy hanya memberikan koridor dan petunjuk untuk mencari jawaban itu, sama sekali beliau tidak mau memberikan jawaban penuh akan pertanyaan ini. Sebenarnya dimana jawaban itu? Dan kapan bisa ditemukan jawaban itu?
Dan dalam lamunannya, tanpa sadar Haris masuk dalam alam mimpinya. Meninggalkan untuk sementara kehidupan di dunia ini, pergi jauh dan bebas ke alam mimpi yang diciptakan Tuhan sebagai teman tidur tiap manusia.
Menengadah ke langit, di sana tampak Sang Rembulan tidur dengan cantiknya. Cahayanya yang begitu lembut seolah menyihir semua orang untuk menghentikan segenap aktivitas yang dilakukannya serta mengawal mereka menuju alam satunya lagi. Seraya menunggu kedatangan Sang Mentari esok harinya. Angin malam membelai lembut di sela-sela dedaunan dan rerumputan, membuat mereka bergoyang menari dengan irama teratur tanpa merasa terbebani sedikitpun. Namun, satu hal yang pasti, yakni mereka selalu berdzikir menyucikan Tuhannya, Sang Pencipta mereka tanpa merasa lelah, tanpa merasa terbebani. Hal seperti ini, sayangnya tidak bisa dilakukan oleh manusia yang dikatakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tanpa cacat dibandingkan dengan makhluk hidupNya yang lain. Manusia sering lupa, sering lalai untuk mengingat Tuhannya, bahkan seringkali banyak diantara mereka ingkar terhadap hukum-hukum Allah, Syariat Islam dan kewajiban untuk mentaatinya. Syariat yang tidak hanya hadir dalam hubungan manusia dengan Allah semata, namun juga hadir dalam hubungan antar sesama manusia. Hanya saja kebanyakan manusia tidak mengetahuinya dan justru ingkar pada hukum-hukumNya.
Dan kembali, nyanyian para binatang malam mengawal perjalanan Sang Malam menuju tempat bertemunya dengan Sang Mentari, begitu indah dan begitu damai…
|||
“Hari ini ada acara ga?” Haris bertanya kepada Rafi yang ingin berangkat kuliah.
“Memangnya kenapa?” Rafi balik bertanya.
“Ga papa sih, aku mau ngajak kamu ikut kajian sore ini. Ikut yo?”
“Jam berapa emangnya?”
“Sore ba’da ashar, langsung kita pengajian. Nanti shalatnya sama-sama di mesjid kampus! Gimana?” Haris bertanya kepada Rafi.
“Sory Ris, kayaknya aku ga bisa. Soalnya udah ada janji sama Devi!”
“Kemana? Ga bisa ditunda? Ini bagus lo pengajiannya!” Haris mencoba membujuk Rafi.
“Temenin dia ke Mall, ada yang mau dibelinya!” Rafi menjawab dengan santainya.
“Lagi?” Haris merespon dengan singkat tapi juga merasa aneh dan kaget.
“Iya, biasalah anak cewek. Kebutuhannya pasti banyak! Udah ya, aku berangkat dulu. Assalammua’laikum!”
Dan Rafi pun berlalu meninggalkan Haris dalam pikirannya. Haris berpikir, wanita mana yang setiap hari pergi berbelanja seolah-olah dia tidak pernah merasa kebutuhan hidupnya bias terpenuhi. Seraut perasaan takut menghampiri Haris, jangan-jangan Devi menerima Rafi hanya karena Rafi itu anak orang kaya dan mempunyai banyak uang. Jika memang begitu, maka ini pasti akan menjadi masalah besar dan suatu saat nanti akan membuat Rafi sendiri merasa kesakitan. Namun sayangnya, ia sendiri pun bingung harus melakukan apa karena hingga saat ini pun ia belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang ia sendiri ajukan. Tapi, ia akan tetap mencoba membujuk Rafi untuk tidak menempuh jalan seperti yang ia tempuh sekarang dengan Devi, tidak peduli Rafi marah atau mencaci-maki dirinya, yang terpenting ia harus bisa menyelamatkan sahabatnya itu.
|||
Siang ini begitu panas, agaknya awan pun enggan menghalangi keganasan sinar matahari untuk memanggang seantero dunia. Terlihat jelas awan bergerak menjauh dan memberikan ruang yang begitu lebar bagi matahari di angkasa raya sana. Panasnya siang hari ini tidak menghalangi Rafi dan Devi untuk pergi ke Mall setelah jam kuliah mereka berdua selesai.
“Mau beli apa aja Vi hari ini?” Rafi tiba-tiba bertanya pada Devi ketika mereka bertemu di Gazebo Kimia seusai jam kuliah hari itu.
“Biasa, kebanyakan sih barang-barang keperluan sehari-hari terus juga mungkin sekalian beli baju!” Devi santai menjawab.
“Ya udah, yuk berangkat! Udah ga ada yang ditunggu kan?”
“Iya!”
“Kamu tunggu bentar di sini, aku ambil kendaraan bentar ya? Ada di Hutan MIPA soalnya kendaraanku!”
“Oke!”
Rafi pun berjalan menjauh dari Devi dan dengan segera pergi ke Hutan MIPA untuk mengambil kendaraannya. Sementara itu, tiba-tiba Devi didekati oleh tiga orang mahasiswa yang lebih tua penampilannya dari dia, mungkin mereka adalah kakak tingkatnya. Secara spontan mereka pun menyapa Devi.
“Hai, boleh kenalan ga?” kata salah satu dari ketiga mahasiswa itu.
“Boleh!” Devi menjawab singkat dan santai.
“Namaku Andi dan ini teman-temanku, Ilan dan Iras!” Sembari mengulurkan tangannya kepada Devi untuk bersalaman.
“Devi!” Devi menjawab singkat sambil menyambut tangan Andi untuk menyalaminya dan juga menyalami kedua temannya yang lain.
“Boleh minta nomor handphone kamu ga?”
“Buat apa?”
“Ya ga buat apa-apa. Buat ngobrol-ngobrol aja.”
Devi pun mengerti dan ia memberikan nomor handphonenya kepada Andi. Dalam hati ia membanggakan dirinya sendiri, begitu banyak laki-laki yang ingin mengobrol dengan dirinya atau bahkan hanya sekedar berkenalan dengannya, tentu tidak lain adalah karena ia memiliki wajah yang cantik dan juga mempunyai banyak potensi akademik dalam dirinya. Bahkan ia berpikir, untuk mendapatkan Rafi saja sangatlah mudah.
Kemudian tiba-tiba ia melihat Rafi sudah menunggunya di ujung jalan sana dan memberi isyarat untuk segera mendatanginya. Ia pun menyudahi pembicaraannya dengan tiga orang mahasiswa tadi kemudian pergi menuju tempat Rafi menunggu dirinya. Sampai di tempat Rafi, Rafi pun menyerahkan sebuah helm kepadanya dan mengisyaratkan dirinya untuk memakai helm itu.
“Siapa tiga laki-laki tadi?” Rafi bertanya kepada Devi setelah melihat kejadian tadi.
“Oh mereka. Biasa…cuma ngajak kenalan terus minta nomor handphone!” Devi menjawab dengan santai.
“Terus dikasih?” Rafi bertanya kembali.
“Iya. Udah ah, ayo berangkat!” Devi pun dengan santainya menjawab tanpa ada gurat rasa bersalah di wajah dan perasaannya terhadap Rafi.
Sedangkan Rafi, terlihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya sedangkan di hatinya, sebuah luka kecil telah menggores hatinya. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang salah tentang hal ini, namun ia tidak bisa mendefinisikan dan menentukan apa itu. Yang pasti ada sesuatu yang salah, entah apa…




Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya


4

Cinta yang sejati itu tidak akan pernah menyakiti, ia akan senantiasa menghiasi kehidupan kita dengan bunga-bunga kehidupan nan indah…

Kata-kata itu senantiasa terngiang dalam pikiran Haris, begitu berarti makna yang tersirat dari perkataan Kak Shafy itu. Memang benar bahwa cinta itu tidak akan pernah menyakiti, jika ia memang cinta sejati yang sebenarnya, bukan cinta semu nan palsu yang tentu akan menyakiti siapapun yang merasakannya. Ia memang berniat menemukan jawaban akan pertanyaan yang hingga sekarang ini memang belum bisa ia temukan jawaban yang paling memuaskan untuk hal itu. Yah, perjalanan untuk mencari jawaban pun akan senantiasa ia lalui…
|||
Kampus hari ini cukup sepi, tak terlalu banyak aktivitas mahasiswa yang terlihat hari ini. Wajar memang, karena mulai hari ini kampus memasuki masa minggu tenang sebagai waktu untuk para mahasiswanya mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Tak terkecuali Haris, hari ini memang tidak ada kuliah atau agenda apapun di kampus namun ia tetap pergi ke kampus untuk belajar dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian akhir.
Saat itu ia sedang berada di sebuah gazebo fakultasnya, di sekelilingnya terlihat sepi. Hanya sedikit mahasiswa-mahasiswi yang ada di sana, kebanyakan memang juga sedang belajar. Haris duduk santai di bawah sebuah pohon besar nan rindang, menghadapi sebuah catatan pelajaran sambil berusaha mengingat-ngingat pelajaran-pelajaran yang sudah didapatkannya.
Pagi terasa menemani dengan setia keberadaannya di sana, membuat hawa sejuk tak terkira nikmatnya berkelakar di hadapannya. Damai dan sejuk, ia rasakan merasuk dalam dirinya. Nikmat sekali diberikan Allah seperti ini, walau kebanyakan dari manusia khususnya umat muslim yang lupa untuk bersyukur kepada Allah. Bahkan seringkali mencampakkan hukum Allah dalam menjalani kehidupannya.
Tiba-tiba…
“Assalamualaikum!” sebuah suara membuat Haris bangkit dari lamunannya akan kenikmatan Allah yang sedang berusaha diresapinya.
“Wa..wa..waalaikumussalam!” jawab Haris terbata karena kaget. Dilihatnya ternyata yang berdiri di hadapannya adalah sahabatnya sendiri, Rafi.
“Melamun aja, mikiran apa pak?”
“Oh, ga papa… Lagi menikmati alam aja! Tumben ke sini, ngapain?”
“Tuh..” jawab Rafi singkat sembari menunjukkan tangannya kepada seseorang.
Disana ada Devi yang sedang berbicara dengan seorang temannya. Teman perempuannya yang terlihat sangat beda jauh penampilannya dengan Devi. Jika Devi tidak memakai kerudung untuk menutupi kepala, rambut, dan bagian dadanya maka temannya itu memakai kerudung besar dan lebar rapi menutupi kepala hingga ke bagian dadanya. Selain itu Devi yang hanya memakai kaos tipis serta celana jins yang sangat ketat dan terlihat lekuk tubuhnya maka teman perempuannya itu memakai jilbab atau sering disebut sebagai gamis yang panjang serta lebar hingga mencapai tanah dan tak sedikitpun terlihat lekuk tubuhnya.
Haris sempat terpana melihat kedua orang itu. Jika seorang terlihat tidak begitu bisa menjaga kehormatan dan iffah dirinya, terlihat dari cara berpakaiannya maka yang lain justru terlihat sangat menjaga kehormatan dan iffah dirinya. Pakaiannya yang tertutup rapat cukup mewakili betapa ia sangat menjaga kehormatan dirinya sendiri.
Sepertinya antara Devi dan juga teman perempuannya itu sedang terlibat pembicaraan yang serius, bahkan tak jarang Devi seperti berwajah marah dan juga memaksa kepada teman perempuannya itu. Rafi yang sedari tadi berada di samping Haris pun tiba-tiba dipanggil oleh Devi untuk menuju ke tempat dimana Devi dan teman perempuannya itu berada. Kelihatannya ada sedikit masalah, karena merasa ada yang tidak beres, Haris pun mengikuti Rafi menuju tempat kedua perempuan itu berada.
“Ada apa Dev?” tanya Rafi kepada Devi.
“Ini loh, Fatimah susah banget buat dimintai tolong!” keluh Devi.
“Memangnya minta tolong apa?”
“Aku minta tolong supaya dia menggantikan aku untuk bisa maju dalam lomba menyanyi pekan seni tingkat kampus minggu depan! Karena kami berasal dari fakultas yang sama dan juga cuma dia satu-satunya orang yang kupercaya bisa menggantikanku, tapi dia ga mau ternyata!” jelas Devi.
“Oh, gitu. Lha, kamu kenapa ga mau Fat? Aku juga pernah tau bahwa kamu punya suara yang sangat bagus waktu semester lalu kamu ikut lomba yang sama dan menjadi pemenang pertama di lomba itu!” tanya Rafi kepada Fatimah.
“Itu kan dulu, sekarang kan udah ga seperti dulu lagi! Udah beda!” jawab Fatimah tenang.
“Apa bedanya? Apa salahnya menyanyi?” sahut Devi yang mulai marah kepada temannya itu.
“Tentu ada bedanya Vi, tidak ada salahnya memang menyanyi tapi ada pengecualian sedikit untuk kita, para wanita. Karena suara kita yang dibuat-buat, mendayu-dayu itu mampu membuat para kaum pria terangsang dan bisa menimbulkan pikiran yang macam-macam juga penyakit hati di dalam hatinya!” jelas Fatimah.
“Ah, itu kan kata kamu aja? Lagian yang salah juga para kaum pria, kenapa juga mereka berpikiran yang macam-macam?” bantah Devi.
“Devi, walau bagaimanapun, kita para kaum wanita juga turut andil dalam merusak kaum pria jika kita membiarkan apa-apa yang ada dalam diri kita ini, apakah itu badan, suara, aurat, kecantikan, dan lainnya seenaknya ditampilkan di depan mereka-mereka, para kaum pria yang bukan mahram kita. Bukankah wanita itu adalah sesuatu yang sangat berharga, dari rahim kita lah lahir para generasi baru, generasi-generasi yang nantinya akan menggantikan kita, bahkan wanita lah yang menjadi tolak ukur baik atau tidaknya sebuah negara, jika wanitanya baik maka baik pulalah negara itu dan jika wanitanya buruk maka tentu buruklah negara itu.” jawab Fatimah.
“Kita semua beragama Islam, kita semua berazzam kepada Islam dan karena Islam yang kita azzami, yang kita yakini memiliki seperangkat peraturan, seperangkat tata tertib dalam menjalani kehidupan ini, maka tentu sudah menjadi kewajiban kita semua untuk patuh dan taat kepada aturan itu. Termasuk ketika Islam menurunkan seperangkat aturan untuk para wanita muslimah, maka juga menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk mentaatinya suka ataupun tidak. Karena sebenarnya, aturan Islam yang ada khususnya untuk para wanita seperti misalnya menutup aurat, pakaian yang diperbolehkan dan diwajibkan dipakai oleh seorang muslimah itu seperti apa, bagaimana etika wanita berbicara di depan pria yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya kesemuaya adalah untuk memuliakan para wanita itu sendiri, untuk mencegah agar para kaum wanita tidak jatuh ke dalam jurang kenistaan, yakni hanya menjadi barang yang tidak berharga, pemuas nafsu pria, mainan para media yang tidak bertanggung jawab, ekploitasi tubuh dan lainnya.” lanjut Fatimah sambil tersenyum kepada Devi.
Sejenak keheningan mewarnai mereka berempat usai mendengar penjelasan dari Fatimah. Penjelasan dari Fatimah tadi agaknya sangat mempengaruhi dan membingungkan Devi. Disatu sisi, ia sangat memikirkan apa yang dikatakan Fatimah tadi namun di sisi lain, ia benci Fatimah menjadi seperti ini, dia berubah, tidak seperti Fatimah yang dulu lagi, dan ia menjadi sangat berbeda dengan dirinya. Sedangkan Haris, ia cukup kagum dengan penjelasan Fatimah, tidak menggurui dan tepat sekali susunan katanya agar seolah-olah apa yang disampaikannya itu juga untuk dirinya sendiri bukan malah membuat orang yang mendengarkannya menjadi objek yang bersalah.
“Jadi intinya kamu tetap ga mau buat gantikan aku untuk lomba nanti?” tanya Devi lagi untuk meyakinkan dirinya.
“Aku sih mau tapi aturan agama melarangku, ya mau gimana lagi? Maaf ya, aku ga bisa.”
“Ya sudah, ga masalah.”
“Semoga ini ga mempengaruhi kedekatan kita?” senyum Fatimah diberikannya kepada Devi.
“Iya, iya. Ya udah kalo gitu, aku sama Rafi mau pergi dulu, mau cari temen-temen lain yang mungkin bisa gantikan aku. Ayo Fi!” kata Devi sambil pergi menjauh dari mereka.
“Iya! Udah ya Ris, aku temenin Devi dulu! Wassalamualaikum!” kata Rafi kepada Haris.
“Ok, waalaikumussalam!” jawab Haris.
Akhirnya Devi dan Rafi pun pergi menjauh, meninggalkan Haris dan Fatimah yang agak canggung satu sama lain. Haris pun melihat kepada Fatimah yang berada di sebelah kanannya, agak jauh memang.
“Kalo gitu ana juga harus pergi, wassalamualaikum!” kata Fatimah tiba-tiba sambil menangkupkan kedua tangannya ke depan dan tentu saja sambil menundukkan pandangannya yang otomatis juga membuat Haris melakukan hal yang sama.
“Oh iya, waalaikumussalam!” jawab Haris singkat seraya tetap menundukkan pandangannya.
Dan Fatimah pun pergi, Haris sempat melihat kepergiannya dari jauh. Jilbabnya yang panjang dan lebar pun melambai-lambai, sungguh wanita yang sangat hebat. Haris salut dengan keistiqamahannya dalam menjaga iffah dirinya serta menjaga setiap perbuatannya agar selalu terikat dengan hukum syariat Islam dalam kondisi apapun, sungguh akhwat yang menakjubkan. Kemungkinan akhwat itu pun kenal dengan dirinya, walau hanya sebatas tahu sedikit tentangnya yakni bahwa ia adalah salah satu aktivis dakwah, terlihat ketika ia menggunakan kata “ana” kepadanya tadi. Kata-kata yang jarang digunakan oleh orang-orang yang tidak terbiasa menggunakannya, kebanyakan hanya oleh dan kepada sesama aktivis dakwah lah kata itu digunakan, jarang sekali digunakan kepada orang-orang biasa.
Bukannya ada perbedaan atau diskriminasi, tapi jika kita berbicara dengan memakai kata-kata yang jarang digunakan atau diketahui oleh lawan bicara kita yang dalam hal ini ia belum menjadi aktivis dakwah maka komunikasi akan menjadi sangat tidak efektif, apalagi dakwah juga sangat erat hubungannya dengan komunikasi. Salah seorang sahabat Rasulullah, Mush’ab bin Umair sudah memberikan kita semua sebuah contoh tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan baik kepada orang awam atau orang yang belum terlalu mengenal Islam untuk menyampaikan Islam kepadanya dengan baik dan juga mudah diterima.
Namun, tentu saja penyampaian Islam dengan komunikasi yang baik akan menjadi tidak bermakna jika penyampainnya pun ternyata mendistorsi makna sejati dari Islam itu sendiri dalam artian, agar Islam diterima maka beberapa hal dalam Islam yang “dianggap” mengerikan dihilangkan dan tidak disampaikan. Maka hal ini sangat berlawanan dengan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah, tidak pernah sekalipun beliau mengurangi makna Islam itu sendiri agar orang-orang lain mau menerimanya dengan cepat dan dalam jumlah banyak.
Jika memang menyembah patung berhala itu adalah sesuatu yang diharamkan maka Rasulullah mengatakannya dengan tegas dan lantang walaupun hal itu membuat banyak orang menjadi antipati dengan Islam dan menganggap Rasulullah beserta Islam adalah agama setan yang menyerang Tuhan-Tuhan berhala mereka sehingga sudah pasti pada waktu itu banyak sekali masyarakat Mekkah yang tidak mau masuk Islam. Jika memang hukuman razam dan cambuk wajib diberikan kepada para penzina, hukuman potong tangan kepada pencuri, atau hukuman qisash kepada pembunuh maka itulah yang pasti Rasulullah laksanakan mengingat itu adalah perintah langsung dari Allah melalui firmanNya, walau hal itu dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan, tidak berprikemanusiaan, Islam adalah agama yang kejam, dan lainnya oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam maka Rasulullah tidak terpengaruh dan tetap melaksanakannya. Atau jika memang menjadi sebuah kewajiban kepada Rasulullah dan seluruh umat Islam untuk taat kepada aturan Islam, suka ataupun tidak maka tentu Rasulullah pun tetap melakukannya dan menyuruh kepada umatnya untuk taat kepada Allah beserta aturanNya secara menyeluruh dalam artian mengambil seluruh apa yang diperintahkan Allah, tidak setengah-setangah.
Sungguh hebat akhwat itu, jika apa yang dikatakan Rafi benar bahwa semester lalu ia masih ikut lomba menyanyi itu dan belum menjadi seperti sekarang artinya perubahan yang terjadi pada dirinya terjadi belum lama ini. Bisa dipastikan mungkin bahwa ia memakai jilbab dan kerudung yang sedemikian rapatnya juga baru-baru ini atau bisa jadi ia pun mengkaji Islam juga baru dalam waktu yang singkat ini. Namun, sungguh sangat mengagumkan bahwa walau dalam waktu yang cukup singkat tapi keistiqamahan dan rasa keterikatannya kepada hukum-hukum syariat Islam sudah sangat tinggi. Padahal banyak aktivis dakwah yang sudah tersadarkan oleh hukum-hukum Islam namun keterikatannya kepada hukum syariat masih sangat rendah dan menyedihkan. Sangat memalukan untuk seorang aktivis dakwah…
Haris mulai berpikir, tidak mungkin jika seseorang mampu bertahan atas sesuatu tanpa didasari sesuatu, tanpa ada sumber yang mampu memberikannya kekuatan untuk tetap teguh memegang apa yang diyakininya, dan tanpa disadari oleh pemikiran dan perasaan yang kuat bahwa hal yang diyakininya itu benar. Bahkan tidak mungkin tanpa sesuatu yang sangat kuat ia berani mengambil resiko bahwa ia kemungkinan bisa kehilangan teman yang sangat dekat dengannya akibat pemahamannya tentang Islam itu, artinya ada sesuatu yang lebih penting lagi daripada sekedar kehilangan atau mendapat anggapan buruk dari seorang manusia, seorang teman. Hal yang lebih penting daripada perasaan cinta terhadap sesama manusia…
Sepertinya, keping-keping jawaban dari pertanyaannya mulai hadir dihadapan Haris. Namun, jawaban yang sempurna belum bisa ia dapatkan karena keping-keping jawaban masih belum terkumpul semuanya, jika sudah terkumpul dan disatukan maka tentu nanti akan menjadi sebuah jawaban yang sempurna. Cepat atau lambat, Haris yakin pasti bisa menemukan jawaban itu.
Tiba-tiba ada sebuah sms yang masuk ke dalam HP nya. Ternyata SMS dari Kak Shafy, bunyinya…
“Salam. Akhi, anak dri Ust. Ilyas sdng drawat di RS krna trkena DBD dn skrng keadaanx sdg kritis. Mhon doanya spy cpat smbuh. Insya Allah mlam ini ba’da isya ana mw mnjenguk bliau dn ank bliau, antm bsa temani ana?”
Sontak Haris pun kaget, anak dari Ustadz Ilyas tiba-tiba masuk rumah sakit karena terkena demam berdarah. Dia sendiri baru beberapa hari berkunjung ke rumah beliau dan dilihatnya anak beliau sehat-sehat saja, tapi hari ini benar-benar tidak terduga. Memang tidak ada yang bisa memastikan kapan manusia akan mendapat cobaan dalam hidupnya seperti penyakit, kematian, meninggalnya orang-orang yang kita cintai dan lainnya. Dan seharusnya manusia sadar, karena hal itulah manusia harus lebih beriman dan bertakwa kepada penciptanya.
SMS itu langsung dibalasnya dengan jawaban yang singkat.
“Salam. Insya Allah bisa, nanti ana jemput sebelum Isya di kos antum!”
Dan sepertinya malam ini pun akan memberikan Haris sebuah pelajaran yang sangat berharga dan tidak akan pernah terlupakan dalam perjalanan hidupnya.