Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya
3
Malam
itu Haris sudah pulang dan berada di kosnya, namun tak seperti biasa. Kali ini
ia sendiri tanpa ditemani Rafi, sahabat sekaligus teman satu kamarnya. Memang
tak biasa jika Rafi pergi dan belum pulang juga hingga malam seperti ini,
kecuali memang ada satu keperluan seperti mengerjakan tugas, organisasi, dan
lainnya. Tapi, seingat Haris akhir-akhir ini, Rafi tidak lah berada dalam
posisi seseorang yang sibuk, terlihat jelas bahwa kegiatannya begitu santai.
Belum ada tugas-tugas yang baru dan juga organisasi yang diikutinya belum
mengadakan acara dan kegiatan lagi.
Seperti
biasanya, setelah shalat Isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, ia pun melewati
malam itu dengan membasahi bibir serta menghiasi perkataannya dengan
firman-firman Allah yang mulia, sembari hanyut dalam penghayatan terhadap makna
tanpa celah keburukan dari kata-kata sang Maha Pencipta itu. Terlewat barisan
kata per kata dengan kesempurnaan paling agung tiada cacat sedikitpun, dikawal
dengan bacaan penuh penghayatan dari seorang makhluk lemah lagi hina.
Al-Qur’an, kitab petunjuk bagi umat muslim khususnya dan manusia pada umumnya.
Kandungannya begitu sempurna, peraturan hidup yang digariskannya sebagai aturan
yang “seharusnya” ditaati oleh segenap makhluk hidup bernama manusia di dunia
ini tanpa alasan untuk tak mentaatinya sedikitpun. Sayangnya, peraturan hidup
itu dibuang dan tidak dipedulikan oleh kebanyakan manusia di dunia ini sehingga
keluarlah mereka semua dari fitrah hidup yang harusnya melekat di diri mereka.
Betapa menyedihkannya…
Ya,
Islam tidak hanya berbicara tentang individu dengan Tuhannya saja namun juga
berbicara permasalahan muamalah antar manusia di dunia ini yang peraturannya
lengkap tertulis di Al-Qur’an dan juga telah dicontohkan oleh seorang manusia
yang “seharusnya” juga menjadi idola semua manusia, yakni Rasulullah Saw. Islam
mengatur seluruhnya, dari aspek individu, ibadah, politik, ekonomi, budaya,
sosial, dan lainnya. Tidak ada aspek kehidupan manusia yang bisa luput dari
aturan Islam. Karena Islam itu sempurna.
Dan
malam ini, Haris pun masih terus larut dalam penghayatannya…
≡|||≡
“Sampai
ketemu besok pagi ya di kampus?”
“Oke.”
“Makasih
banget buat hari ini, hati-hati di jalan ya? Langsung istirahat aja!”
“Insya
Allah, makasih juga! Ok, sampe ketemu besok di sekolah ya? Wassalamualaikum.”
“Waalaikumussalam”,
dan Devi pun berjalan masuk ke rumahnya.
Mereka
berdua, Rafi dan Devi baru saja selesai “berkencan” di sebuah Mall di kota itu.
Setelah jam kuliah berakhir, ba’da ashar tadi mereka pun langsung berangkat
menuju mall itu. Hingga ba’da isya mereka baru pulang dari acara mereka.
Betapa
menyenangkannya dunia ini ketika dua sejoli ini merasakan perasaan cinta satu
sama lain yang mungkin bagi mereka itu adalah cinta sejati. Lalu sebenarnya apa
cinta sejati itu? Seperti apa? Dan dimana kita bisa mendapatkannya?
Dan
malam pun hening tanpa suara, sang rembulan menutup malu wajahnya dalam balutan
lembut sang awan. Malam ini begitu hening, tenang, dan damai. Bersahabat dengan
hati dan membelainya dengan lembut. Hati pun tenang tanpa gundah sedikitpun,
ketenangannya bagai lautan indah yang tidur tanpa gelombang. Rafi pun tersenyum
dalam perjalanan menuju kosnya, begitu indah hari ini baginya. Cinta yang
disambut, bahagia melihat orang yang dicintai berbahagia, bahagia dekat dengan
orang yang dicintai, dan lainnya. Mungkin jika ia meninggal malam ini pun
tidaklah apa-apa karena setidaknya ia sudah melewati malam yang sangat berbeda
dari kehidupannya yang biasa namun begitu membahagiakan baginya.
Rafi
pun tiba di kosnya…
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam.”
Haris menjawab.
“Dari
mana Fi? Kok tumben baru pulang?”
“Habis
jalan sama Devi, tadi temenin dia beli sesuatu.” Rafi menjawab dengan
santainya.
“Hah
Devi? Kenapa?” Haris pun sontak terkaget.
“Yah…
payah kamu ini Ris! Belum dengar berita di kampus yah kalo aku udah jadian sama
Devi, baru tadi pagi!”
“Jadian?
Pacaran maksudnya?”
“Yup,
dan tahu ga ternyata Devi itu orangnya menyenangkan dan begitu baik hati?”
“Ya
bukan itu masalahnya Fi, tapi apa kamu yakin menempuh jalan seperti ini? Dengan
berpacaran?”
“Apa
salahnya? Ini kan sebagai jalan perkenalan sama dia, kali aja kami cocok hingga
bisa jadi suami istri nantinya?”
“Terus,
kalo misalnya ga cocok gimana?”
“Insya
Allah cocok lah!”
“Tapi
Fi…”
Namun,
perkataan Haris dipotong oleh Haris.
“Udah,
aku lagi malas sama cape buat diskusi sama kamu, lain kali aja ya? Aku mau
bersih-bersih diri dulu nih! Mandi! Ok?”
Dan
seketika Rafi pun beranjak pergi menuju kamar mandi kos mereka. Seperti biasa,
Haris pun terdiam dalam lamunannya, ditemani dengan berbagai macam pikiran,
pertanyaan, dan kebingungan akan sahabatnya yang satu ini. Sahabat yang sangat
ia sayangi ini, tentu ia tidak ingin sahabatnya ini menempuh jalan yang salah
dalam hidupnya.
Entahlah,
ia bingung harus seperti apa karena disatu sisi ia pun belum menemukan jawaban
akan pertanyaan yang ia ajukan sendiri kepada dirinya. Kak Shafy hanya
memberikan koridor dan petunjuk untuk mencari jawaban itu, sama sekali beliau
tidak mau memberikan jawaban penuh akan pertanyaan ini. Sebenarnya dimana
jawaban itu? Dan kapan bisa ditemukan jawaban itu?
Dan
dalam lamunannya, tanpa sadar Haris masuk dalam alam mimpinya. Meninggalkan
untuk sementara kehidupan di dunia ini, pergi jauh dan bebas ke alam mimpi yang
diciptakan Tuhan sebagai teman tidur tiap manusia.
Menengadah
ke langit, di sana tampak Sang Rembulan tidur dengan cantiknya. Cahayanya yang
begitu lembut seolah menyihir semua orang untuk menghentikan segenap aktivitas
yang dilakukannya serta mengawal mereka menuju alam satunya lagi. Seraya menunggu
kedatangan Sang Mentari esok harinya. Angin malam membelai lembut di sela-sela
dedaunan dan rerumputan, membuat mereka bergoyang menari dengan irama teratur
tanpa merasa terbebani sedikitpun. Namun, satu hal yang pasti, yakni mereka
selalu berdzikir menyucikan Tuhannya, Sang Pencipta mereka tanpa merasa lelah,
tanpa merasa terbebani. Hal seperti ini, sayangnya tidak bisa dilakukan oleh
manusia yang dikatakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tanpa
cacat dibandingkan dengan makhluk hidupNya yang lain. Manusia sering lupa,
sering lalai untuk mengingat Tuhannya, bahkan seringkali banyak diantara mereka
ingkar terhadap hukum-hukum Allah, Syariat Islam dan kewajiban untuk
mentaatinya. Syariat yang tidak hanya hadir dalam hubungan manusia dengan Allah
semata, namun juga hadir dalam hubungan antar sesama manusia. Hanya saja
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya dan justru ingkar pada hukum-hukumNya.
Dan
kembali, nyanyian para binatang malam mengawal perjalanan Sang Malam menuju
tempat bertemunya dengan Sang Mentari, begitu indah dan begitu damai…
≡|||≡
“Hari
ini ada acara ga?” Haris bertanya kepada Rafi yang ingin berangkat kuliah.
“Memangnya
kenapa?” Rafi balik bertanya.
“Ga
papa sih, aku mau ngajak kamu ikut kajian sore ini. Ikut yo?”
“Jam
berapa emangnya?”
“Sore
ba’da ashar, langsung kita pengajian. Nanti shalatnya sama-sama di mesjid
kampus! Gimana?” Haris bertanya kepada Rafi.
“Sory
Ris, kayaknya aku ga bisa. Soalnya udah ada janji sama Devi!”
“Kemana?
Ga bisa ditunda? Ini bagus lo pengajiannya!” Haris mencoba membujuk Rafi.
“Temenin
dia ke Mall, ada yang mau dibelinya!” Rafi menjawab dengan santainya.
“Lagi?”
Haris merespon dengan singkat tapi juga merasa aneh dan kaget.
“Iya,
biasalah anak cewek. Kebutuhannya pasti banyak! Udah ya, aku berangkat dulu.
Assalammua’laikum!”
Dan
Rafi pun berlalu meninggalkan Haris dalam pikirannya. Haris berpikir, wanita
mana yang setiap hari pergi berbelanja seolah-olah dia tidak pernah merasa
kebutuhan hidupnya bias terpenuhi. Seraut perasaan takut menghampiri Haris,
jangan-jangan Devi menerima Rafi hanya karena Rafi itu anak orang kaya dan
mempunyai banyak uang. Jika memang begitu, maka ini pasti akan menjadi masalah
besar dan suatu saat nanti akan membuat Rafi sendiri merasa kesakitan. Namun
sayangnya, ia sendiri pun bingung harus melakukan apa karena hingga saat ini
pun ia belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang ia sendiri ajukan.
Tapi, ia akan tetap mencoba membujuk Rafi untuk tidak menempuh jalan seperti
yang ia tempuh sekarang dengan Devi, tidak peduli Rafi marah atau mencaci-maki
dirinya, yang terpenting ia harus bisa menyelamatkan sahabatnya itu.
≡|||≡
Siang
ini begitu panas, agaknya awan pun enggan menghalangi keganasan sinar matahari
untuk memanggang seantero dunia. Terlihat jelas awan bergerak menjauh dan
memberikan ruang yang begitu lebar bagi matahari di angkasa raya sana. Panasnya
siang hari ini tidak menghalangi Rafi dan Devi untuk pergi ke Mall setelah jam
kuliah mereka berdua selesai.
“Mau
beli apa aja Vi hari ini?” Rafi tiba-tiba bertanya pada Devi ketika mereka
bertemu di Gazebo Kimia seusai jam kuliah hari itu.
“Biasa,
kebanyakan sih barang-barang keperluan sehari-hari terus juga mungkin sekalian
beli baju!” Devi santai menjawab.
“Ya
udah, yuk berangkat! Udah ga ada yang ditunggu kan?”
“Iya!”
“Kamu
tunggu bentar di sini, aku ambil kendaraan bentar ya? Ada di Hutan MIPA soalnya
kendaraanku!”
“Oke!”
Rafi
pun berjalan menjauh dari Devi dan dengan segera pergi ke Hutan MIPA untuk
mengambil kendaraannya. Sementara itu, tiba-tiba Devi didekati oleh tiga orang
mahasiswa yang lebih tua penampilannya dari dia, mungkin mereka adalah kakak
tingkatnya. Secara spontan mereka pun menyapa Devi.
“Hai,
boleh kenalan ga?” kata salah satu dari ketiga mahasiswa itu.
“Boleh!”
Devi menjawab singkat dan santai.
“Namaku
Andi dan ini teman-temanku, Ilan dan Iras!” Sembari mengulurkan tangannya
kepada Devi untuk bersalaman.
“Devi!”
Devi menjawab singkat sambil menyambut tangan Andi untuk menyalaminya dan juga
menyalami kedua temannya yang lain.
“Boleh
minta nomor handphone kamu ga?”
“Buat
apa?”
“Ya
ga buat apa-apa. Buat ngobrol-ngobrol aja.”
Devi
pun mengerti dan ia memberikan nomor handphonenya kepada Andi. Dalam hati ia
membanggakan dirinya sendiri, begitu banyak laki-laki yang ingin mengobrol
dengan dirinya atau bahkan hanya sekedar berkenalan dengannya, tentu tidak lain
adalah karena ia memiliki wajah yang cantik dan juga mempunyai banyak potensi
akademik dalam dirinya. Bahkan ia berpikir, untuk mendapatkan Rafi saja
sangatlah mudah.
Kemudian
tiba-tiba ia melihat Rafi sudah menunggunya di ujung jalan sana dan memberi
isyarat untuk segera mendatanginya. Ia pun menyudahi pembicaraannya dengan tiga
orang mahasiswa tadi kemudian pergi menuju tempat Rafi menunggu dirinya. Sampai
di tempat Rafi, Rafi pun menyerahkan sebuah helm kepadanya dan mengisyaratkan
dirinya untuk memakai helm itu.
“Siapa
tiga laki-laki tadi?” Rafi bertanya kepada Devi setelah melihat kejadian tadi.
“Oh
mereka. Biasa…cuma ngajak kenalan terus minta nomor handphone!” Devi menjawab
dengan santai.
“Terus
dikasih?” Rafi bertanya kembali.
“Iya.
Udah ah, ayo berangkat!” Devi pun dengan santainya menjawab tanpa ada gurat
rasa bersalah di wajah dan perasaannya terhadap Rafi.
Sedangkan
Rafi, terlihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya sedangkan di hatinya, sebuah
luka kecil telah menggores hatinya. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang
salah tentang hal ini, namun ia tidak bisa mendefinisikan dan menentukan apa
itu. Yang pasti ada sesuatu yang salah, entah apa…