Sabtu, 01 Desember 2012

Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya

Terakhir 6


Sesampainya di sana, Haris pun menjelaskan semuanya kepada Ustadz Ilyas dengan cepat dan singkat. Kemudian, tentu saja Ustadz Ilyas langsung menuju ruang UGD tempat Fatimah mendapatkan perawatan bersama Haris. Ketika sampai di sana, dilihatnya dibalik tirai yang sedikit terbuka Fatimah sudah mendapatkan perawatan dari para dokter dan suster, sedangkan temannya ada di sampingnya dan juga dirawat oleh para suster untuk mengobati luka-lukanya yang tidak terlalu parah dibandingkan dengan Fatimah. Ustadz Ilyas menanyakan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi kepada Haris, juga kepada pasangan suami-istri yang tadi ikut mengantarkan Fatimah ke sini. Tapi tidak ada seorang pun yang mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya. Satu-satunya yang bisa diharapkan untuk menceritakan kejadian sebenarnya hanyalah temannya Fatimah yang ikut bersama Fatimah dan juga mengalami kejadian itu.
Kemudian tak lama, temannya Fatimah pun diperbolehkan suster untuk sementara keluar dari ruangan kecil tempat Fatimah dirawat yang kemudian tirainya ditutup sepenuhnya oleh suster itu. Temannya Fatimah itu pun duduk di tempat dimana Haris dan Ustadz Ilyas serta suami-istri tadi berada. Ustadz Ilyas pun langsung menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Temannya Fatimah itu yang kemudian Haris ketahui bernama Zahra menceritakan semua yang terjadi sambil duduk lemah di kursi rumah sakit berwarna hitam itu. Ia pun menceritakan semuanya, bagaimana ketika mereka ingin pulang ternyata ada sms datang dari ustadzah mereka untuk mengambil sesuatu di rumah beliau untuk persiapan acara kemuslimahan beberapa hari lagi, kemudian bagaimana mereka kemudian pulang dari sana dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Hingga mereka sampai di jalan utama tempat terjadinya kecelakaan itu, yakni ketika mereka berdua baru saja belok kiri dari tikungan dan memasuki jalan utama itu, tiba-tiba di samping kanan mereka ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat cepat dan ugal-ugalan menabrak mereka. Mereka pun terlempar, namun yang paling parah adalah Fatimah karena bagian kanannya tepat ditabrak oleh mobil itu dan membuatnya seketika itu juga jatuh ke depan agak jauh dari Zahra dan kendaraanya.
“Astaghfirullah!” kata-kata yang terlempar dari mulut ustadz Ilyas setelah mendengarkan penuturan dari Zahra.
Haris pun mendengarkan dengan seksama kejadian yang diceritakan Zahra, ia berharap bahwa Kak Shafy yang ditinggalkannya di sana bisa mengurus semuanya termasuk permasalahan orang yang menabrak Fatimah dan Zahra ini.
“Ya sudah dek, kamu istirahat saja! Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua! Amien!” kata Ustadz Ilyas.
“Terima kasih ustadz!”
Tiba-tiba tirai terbuka dan seorang dokter yang tadi ikut merawat dan menangani Fatimah berjalan pelan ke arah mereka.
“Maaf, diantara anda siapa yang merupakan saudara atau keluarga korban?” tanya dokter itu singkat.
“Saya ayahnya dok! Bagaimana keadaan anak saya dok?”
“Dia masih pingsan, mungkin terkena gegar otak ringan akibat benturan yang terjadi di kepalanya. Tapi ada lagi yang lebih penting dan harus kita pikirkan!”
“Apa itu dok?” tanya Ustadz Ilyas cemas.
“Dia banyak kehilangan darah pak! Bekas jahitan pada luka yang ada di perut bagian kanannya ternyata membuka sedikit, mungkin diakibatkan benturan juga. Dari bekas luka itu lah darah paling banyak mengalir keluar. Selain itu tangan kanannya juga patah sedangkan kaki kanannya mengalami luka yang cukup besar dan ini pun mengeluarkan darah yang banyak. Sedangkan bagian kiri tubuhnya secara umum tidak begitu parah hanya luka-luka kecil biasa! Dan yang terakhir adalah itu tadi, anak anda mengalami gegar otak ringan sehingga pingsan!” jelas dokter itu.
“Astaghfirullah! Sekarang sebaiknya bagaimana dok?” berusaha meyakinkan suara yang keluar dari mulutnya.
“Kami perlu memberikan transfusi darah tambahan kepada anak bapak, karena sementara kami berusaha menutup luka-lukanya, darahnya akan terus mengalir keluar. Maka, untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tidak kekurangan darah lebih jauh lagi, kami harus memberikan transfusi darah.”
“Lakukan saja dok, kalau itu memang yang terbaik untuk anak saya!”
“Tapi ada sedikit masalah pak! Kami sebelumnya meminta maaf atas pelayanan yang kurang baik ini pak!”
“Ada apa lagi dok?” Ustadz Ilyas berusaha tenang.
“Sekali lagi kami minta maaf, tapi saat ini rumah sakit sedang mengalami kekosongan stok darah yang diperlukan oleh anak anda!” jelas dokter itu dengan raut wajah yang menyiratkan seakan-akan ia meminta maaf kepada Ustadz Ilyas.
“Astaghfirullah, Ya Allah!” Ustadz Ilyas pun terduduk lemas di tempat duduk di belakangnya. Memegang kedua kepalanya dan berusaha berpikir serta meresapi semua yang terjadi.
“Apakah bapak atau mungkin keluarga yang lain punya golongan darah yang sama dengannya dan dalam keadaan sehat sehingga bisa mendonorkan darah kepadanya?” dokter itu bertanya lagi.
“Tidak ada dok, golongan darah saya tidak sama dengannya. Ibunya juga, sedangkan keluarganya yang ada di sini hanya saya dan istri saya saja!”
“Begitu ya. Maka, kita terpaksa mencari pendonor lain! Namun masalahnya hal itu tidak akan mudah dan perlu waktu, karena golongan darahnya termasuk golongan darah yang sulit untuk dicari. Sedangkan yang akan mendonorkan darahnya pun harus memenuhi beberapa syarat!”
“Golongan darahnya apa dok?” tanya ibu yang tadi ikut mengantarkan Fatimah ke rumah sakit.
“AB bu!” jawab dokter itu singkat.
Haris tersentak kaget.
“Saya juga tidak cocok. Suami saya juga!” sesal ibu itu.
“Saya cocok dok! Darah saya AB!” kata Haris tiba-tiba.
Serentak seluruh orang yang berkumpul di sekitarnya pun terkejut.
“Benarkah darah anda AB?” tanya dokternya lagi, meyakinkan.
“Iya dok!” jawab Haris mantap.
“Baik, kalau begitu kita harus secepatnya melakukan pemeriksaan kelayakan apakah anda bisa mendonorkan darah anda! Jika ternyata bisa, maka kita akan mulai melakukan proses pendonoran darah kemudian mendonorkannya kepada dik Fatimah!”
“Baik dok!”
Maka, Haris pun berjalan mengikuti dokter itu dan pergi ke sebuah laboratorium rumah sakit itu untuk melakukan tes kelayakan apakah ia bisa mendonorkan darahnya atau tidak. Setelah dilakukan tes kelayakan, untungnya Haris memenuhi seluruh prosedural dan syarat kesehatan untuk bisa mendonorkan darahnya, maka jadilah malam itu ia mendonorkan darahnya untuk Fatimah. Ustadz Ilyas tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Haris dan juga Allah atas apa yang Haris lakukan atas izin Allah untuk membantu anaknya itu.
Setelah proses pendonoran darah selesai, Haris pun kembali ke ruangan tempat Fatimah dirawat, berkumpul kembali bersama rombongan yang sedari tadi menunggui Fatimah. Ia duduk sambil memakan beberapa roti serta air susu untuk mengembalikan energi tubuhnya setelah tadi mendonorkan darahnya. Dilihatnya tirai ruangan kecil tempat Fatimah dirawat tertutup kembali, sepertinya dokter dan para suster kembali berusaha merawat Fatimah.
“Subhanallah, Allahu Akbar, Astaghfirullah!” ucap Ustadz Ilyas seraya duduk bersandar di sebelah Haris.
“Astaghfirullah!” dzikir itu kembali diucapkannya.
“Ustadz, istri antum udah diberitahu tentang keadaan Fatimah?” tanya Haris.
“Belum, nanti saja ana beritahu. Ana takut mengganggu dia yang sedang merawat adiknya Fatimah!”
“Jadi beliau belum tahu sama sekali tentang keadaan Fatimah?”
“Ia belum tahu. Karena tadi ana keluar ruangan cuma minta izin untuk berbicara dengan antum!”
“Oh begitu ya ustadz?”
“Yah, setidaknya nanti jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan keadaan Fatimah sudah membaik baru ana akan memberitahukan dan menjelaskan kepadanya apa yang terjadi. Kasihan dia, sudah beberapa hari ini tidak bisa tidur karena merawat si kecil!”
“Yang sabar ya ustadz? Insya Allah semua pasti ada hikmahnya?”
“Ya, Insya Allah. Mungkin ana melakukan begitu banyak dosa kepada Allah hingga Allah memberikan ana peringatan seperti ini. Semoga saja ana dan keluarga ana diampuni oleh Allah!”
“Amien. Insya Allah ustadz!”
“Dan ana pun berterima kasih banyak kepada antum atas bantuannya!” kata ustadz Ilyas seray tersenyum kepada Haris.
“Afwan, sama-sama ustadz! Tapi ana salut sekali dengan antum. Biasanya jika ada orang yang diterpa berbagai masalah seperti ini, kebanyakan dari mereka tidak bisa bersikap tenang bahkan cenderung emosi! Namun antum berbeda, antum bisa bersikap lebih tenang walau berbagai masalah datang bertubi-tubi! Ana salut!”
“Alhamdulillah ana masih diberikan Allah ketenangan seperti tadi!”
“Tapi, apa antum tidak takut jika mungkin sesuatu yang lebih besar terjadi pada Fatimah hingga antum bisa bersikap setenang itu? Tidak seperti orang lain yang emosional setiap kali menghadapi masalah seperti ini?”
“Akhi, sejatinya ana takut! Takut sekali jika Fatimah merasakan kesakitan yang lebih daripada ini, atau mungkin jika Fatimah sampai batas waktunya di dunia ini dan dipanggil oleh Allah. Seandainya bisa, tentulah ana rela mengorbankan diri ana agar ana saja yang sekarang terbaring di sana dengan badan penuh luka, ataupun seandainya tiba batas waktu itu, maka ana rela menggantikan kehidupan ana untuknya, untuk Fatimah. Namun sayangnya, semua itu tidak bisa kita lakukan, karena setiap manusia telah tergambar dengan jelas langkah-langkah kehidupannya!”
“Anak itu adalah titipan, amanah dari Allah. Ana sangat mencintainya, sangat menyayanginya! Namun, rasa cinta dan rasa sayang kepadanya tidaklah membuat ana tidak ingin kehilangannya sama sekali jika memang sudah tiba batas waktunya.”
“Seharusnya kita paham bahwa anak atau apapun yang kita miliki saat ini sesungguhnya semua milik Allah, maka menjadi hal yang wajar jika Allah ingin mengambilnya sewaktu-waktu karena itu memang hak-Nya! Bahkan kita pun seharusnya jangan sampai menjadikan cinta kepada anak atau hal lainnya melebihi cinta kepada Allah, Rasulullah serta agamanya. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Pencemburu dan tentunya ia akan marah jika cinta kita kepadaNya tidak lebih dari yang lain bahkan dinomor sekiankan! Cukup percaya kepada Allah, ia pasti akan memberikan kita yang terbaik!”
“Hmm, iya ustadz! Ana mengerti! Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai kejadian malam ini!” sahut Haris yang kembali merasakan bahwa ia mendapatkan pelajaran yang begitu berharga malam ini.
Tiba-tiba tirai ruangan tempat Fatimah dirawat terbuka, dan sekali lagi dokter yang tadi berbicara kepada mereka kembali menghampiri mereka lagi. Spontan Haris dan Ustadz Ilyas berdiri menghadapi kedatangan dokter itu.
“Bagaimana keadaannya Fatimah dok?” tanya Ustadz Ilyas tanpa basa-basi.
“Alhamdulillah pak! Bapak tenang saja, keadaannya sudah membaik! Luka-luka sobekan di tubuhnya sudah kami jahit semua sehingga pendarahan pun sudah berhenti. Pendonoran darah juga sudah kami lakukan jadi kita tidak perlu takut lagi akan terjadi kekurangan darah padanya. Seluruh luka yang ada di tubuhnya sudah kami tangani, hanya saja ia masih pingsan dan mungkin perlu beberapa hari lagi ia baru bisa siuman! Sabar ya pak, yang penting sekarang keadaannya sudah membaik?”
“Begitu ya dok?”
Alhamdulillah ya Allah!” ucap Ustadz Ilyas kemudian bersujud syukur kepada Allah di lantai rumah sakit yang dingin itu.
Haris pun memegangi tubuhnya ustadz Ilyas, dalam hati ia pun sangat bersyukur bahwa Allah masih memberikan keselamatan bagi anaknya, terlebih ia pun berterima kasih kepada Allah dan juga Ustadz Ilyas karena sekali lagi ia telah diajarkan tentang arti sebuah kata, yakni cinta. Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang didapatkannya pada malam hari ini.
Malam yang penuh dengan bintang-bintang cantik nan kemilau di angkasa sana. Senantiasa berdzikir, bersujud kepada Sang Pencipta yang bahkan kemilaunya mengalahkan terangnya matahari sekalipun. Sungguh alam ini benar-benar cantik dan indah, sayang manusia yang ada terkadang lupa untuk bersyukur kepada Allah! Menyedihkan…
≡|||≡
Sekian


gimana ceritanya silahkan komentnya.....