Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya
Terakhir 6
Sesampainya
di sana, Haris pun menjelaskan semuanya kepada Ustadz Ilyas dengan cepat dan
singkat. Kemudian, tentu saja Ustadz Ilyas langsung menuju ruang UGD tempat
Fatimah mendapatkan perawatan bersama Haris. Ketika sampai di sana, dilihatnya
dibalik tirai yang sedikit terbuka Fatimah sudah mendapatkan perawatan dari
para dokter dan suster, sedangkan temannya ada di sampingnya dan juga dirawat
oleh para suster untuk mengobati luka-lukanya yang tidak terlalu parah
dibandingkan dengan Fatimah. Ustadz Ilyas menanyakan bagaimana kecelakaan itu
bisa terjadi kepada Haris, juga kepada pasangan suami-istri yang tadi ikut
mengantarkan Fatimah ke sini. Tapi tidak ada seorang pun yang mengetahui
bagaimana kejadian sebenarnya. Satu-satunya yang bisa diharapkan untuk
menceritakan kejadian sebenarnya hanyalah temannya Fatimah yang ikut bersama
Fatimah dan juga mengalami kejadian itu.
Kemudian
tak lama, temannya Fatimah pun diperbolehkan suster untuk sementara keluar dari
ruangan kecil tempat Fatimah dirawat yang kemudian tirainya ditutup sepenuhnya
oleh suster itu. Temannya Fatimah itu pun duduk di tempat dimana Haris dan
Ustadz Ilyas serta suami-istri tadi berada. Ustadz Ilyas pun langsung
menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Temannya
Fatimah itu yang kemudian Haris ketahui bernama Zahra menceritakan semua yang
terjadi sambil duduk lemah di kursi rumah sakit berwarna hitam itu. Ia pun
menceritakan semuanya, bagaimana ketika mereka ingin pulang ternyata ada sms
datang dari ustadzah mereka untuk mengambil sesuatu di rumah beliau untuk
persiapan acara kemuslimahan beberapa hari lagi, kemudian bagaimana mereka
kemudian pulang dari sana dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Hingga mereka
sampai di jalan utama tempat terjadinya kecelakaan itu, yakni ketika mereka
berdua baru saja belok kiri dari tikungan dan memasuki jalan utama itu,
tiba-tiba di samping kanan mereka ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat
cepat dan ugal-ugalan menabrak mereka. Mereka pun terlempar, namun yang paling
parah adalah Fatimah karena bagian kanannya tepat ditabrak oleh mobil itu dan
membuatnya seketika itu juga jatuh ke depan agak jauh dari Zahra dan
kendaraanya.
“Astaghfirullah!”
kata-kata yang terlempar dari mulut ustadz Ilyas setelah mendengarkan penuturan
dari Zahra.
Haris
pun mendengarkan dengan seksama kejadian yang diceritakan Zahra, ia berharap
bahwa Kak Shafy yang ditinggalkannya di sana bisa mengurus semuanya termasuk
permasalahan orang yang menabrak Fatimah dan Zahra ini.
“Ya
sudah dek, kamu istirahat saja! Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita
semua! Amien!” kata Ustadz Ilyas.
“Terima
kasih ustadz!”
Tiba-tiba
tirai terbuka dan seorang dokter yang tadi ikut merawat dan menangani Fatimah
berjalan pelan ke arah mereka.
“Maaf,
diantara anda siapa yang merupakan saudara atau keluarga korban?” tanya dokter
itu singkat.
“Saya
ayahnya dok! Bagaimana keadaan anak saya dok?”
“Dia
masih pingsan, mungkin terkena gegar otak ringan akibat benturan yang terjadi
di kepalanya. Tapi ada lagi yang lebih penting dan harus kita pikirkan!”
“Apa
itu dok?” tanya Ustadz Ilyas cemas.
“Dia
banyak kehilangan darah pak! Bekas jahitan pada luka yang ada di perut bagian
kanannya ternyata membuka sedikit, mungkin diakibatkan benturan juga. Dari
bekas luka itu lah darah paling banyak mengalir keluar. Selain itu tangan
kanannya juga patah sedangkan kaki kanannya mengalami luka yang cukup besar dan
ini pun mengeluarkan darah yang banyak. Sedangkan bagian kiri tubuhnya secara
umum tidak begitu parah hanya luka-luka kecil biasa! Dan yang terakhir adalah
itu tadi, anak anda mengalami gegar otak ringan sehingga pingsan!” jelas dokter
itu.
“Astaghfirullah!
Sekarang sebaiknya bagaimana dok?” berusaha meyakinkan suara yang keluar dari
mulutnya.
“Kami
perlu memberikan transfusi darah tambahan kepada anak bapak, karena sementara
kami berusaha menutup luka-lukanya, darahnya akan terus mengalir keluar. Maka,
untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tidak kekurangan darah lebih jauh lagi,
kami harus memberikan transfusi darah.”
“Lakukan
saja dok, kalau itu memang yang terbaik untuk anak saya!”
“Tapi
ada sedikit masalah pak! Kami sebelumnya meminta maaf atas pelayanan yang
kurang baik ini pak!”
“Ada
apa lagi dok?” Ustadz Ilyas berusaha tenang.
“Sekali
lagi kami minta maaf, tapi saat ini rumah sakit sedang mengalami kekosongan
stok darah yang diperlukan oleh anak anda!” jelas dokter itu dengan raut wajah
yang menyiratkan seakan-akan ia meminta maaf kepada Ustadz Ilyas.
“Astaghfirullah,
Ya Allah!” Ustadz Ilyas pun terduduk lemas di tempat duduk di belakangnya.
Memegang kedua kepalanya dan berusaha berpikir serta meresapi semua yang
terjadi.
“Apakah
bapak atau mungkin keluarga yang lain punya golongan darah yang sama dengannya
dan dalam keadaan sehat sehingga bisa mendonorkan darah kepadanya?” dokter itu
bertanya lagi.
“Tidak
ada dok, golongan darah saya tidak sama dengannya. Ibunya juga, sedangkan
keluarganya yang ada di sini hanya saya dan istri saya saja!”
“Begitu
ya. Maka, kita terpaksa mencari pendonor lain! Namun masalahnya hal itu tidak
akan mudah dan perlu waktu, karena golongan darahnya termasuk golongan darah
yang sulit untuk dicari. Sedangkan yang akan mendonorkan darahnya pun harus
memenuhi beberapa syarat!”
“Golongan
darahnya apa dok?” tanya ibu yang tadi ikut mengantarkan Fatimah ke rumah
sakit.
“AB
bu!” jawab dokter itu singkat.
Haris
tersentak kaget.
“Saya
juga tidak cocok. Suami saya juga!” sesal ibu itu.
“Saya
cocok dok! Darah saya AB!” kata Haris tiba-tiba.
Serentak
seluruh orang yang berkumpul di sekitarnya pun terkejut.
“Benarkah
darah anda AB?” tanya dokternya lagi, meyakinkan.
“Iya
dok!” jawab Haris mantap.
“Baik,
kalau begitu kita harus secepatnya melakukan pemeriksaan kelayakan apakah anda
bisa mendonorkan darah anda! Jika ternyata bisa, maka kita akan mulai melakukan
proses pendonoran darah kemudian mendonorkannya kepada dik Fatimah!”
“Baik
dok!”
Maka,
Haris pun berjalan mengikuti dokter itu dan pergi ke sebuah laboratorium rumah
sakit itu untuk melakukan tes kelayakan apakah ia bisa mendonorkan darahnya
atau tidak. Setelah dilakukan tes kelayakan, untungnya Haris memenuhi seluruh
prosedural dan syarat kesehatan untuk bisa mendonorkan darahnya, maka jadilah
malam itu ia mendonorkan darahnya untuk Fatimah. Ustadz Ilyas tak
henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Haris dan juga Allah atas apa
yang Haris lakukan atas izin Allah untuk membantu anaknya itu.
Setelah
proses pendonoran darah selesai, Haris pun kembali ke ruangan tempat Fatimah
dirawat, berkumpul kembali bersama rombongan yang sedari tadi menunggui
Fatimah. Ia duduk sambil memakan beberapa roti serta air susu untuk
mengembalikan energi tubuhnya setelah tadi mendonorkan darahnya. Dilihatnya
tirai ruangan kecil tempat Fatimah dirawat tertutup kembali, sepertinya dokter
dan para suster kembali berusaha merawat Fatimah.
“Subhanallah,
Allahu Akbar, Astaghfirullah!” ucap Ustadz Ilyas seraya duduk bersandar di
sebelah Haris.
“Astaghfirullah!”
dzikir itu kembali diucapkannya.
“Ustadz,
istri antum udah diberitahu tentang keadaan Fatimah?” tanya Haris.
“Belum,
nanti saja ana beritahu. Ana takut mengganggu dia yang sedang merawat adiknya
Fatimah!”
“Jadi
beliau belum tahu sama sekali tentang keadaan Fatimah?”
“Ia
belum tahu. Karena tadi ana keluar ruangan cuma minta izin untuk berbicara
dengan antum!”
“Oh
begitu ya ustadz?”
“Yah,
setidaknya nanti jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan keadaan Fatimah
sudah membaik baru ana akan memberitahukan dan menjelaskan kepadanya apa yang
terjadi. Kasihan dia, sudah beberapa hari ini tidak bisa tidur karena merawat
si kecil!”
“Yang
sabar ya ustadz? Insya Allah semua pasti ada hikmahnya?”
“Ya,
Insya Allah. Mungkin ana melakukan begitu banyak dosa kepada Allah hingga Allah
memberikan ana peringatan seperti ini. Semoga saja ana dan keluarga ana
diampuni oleh Allah!”
“Amien.
Insya Allah ustadz!”
“Dan
ana pun berterima kasih banyak kepada antum atas bantuannya!” kata ustadz Ilyas
seray tersenyum kepada Haris.
“Afwan,
sama-sama ustadz! Tapi ana salut sekali dengan antum. Biasanya jika ada orang
yang diterpa berbagai masalah seperti ini, kebanyakan dari mereka tidak bisa
bersikap tenang bahkan cenderung emosi! Namun antum berbeda, antum bisa
bersikap lebih tenang walau berbagai masalah datang bertubi-tubi! Ana salut!”
“Alhamdulillah
ana masih diberikan Allah ketenangan seperti tadi!”
“Tapi,
apa antum tidak takut jika mungkin sesuatu yang lebih besar terjadi pada
Fatimah hingga antum bisa bersikap setenang itu? Tidak seperti orang lain yang
emosional setiap kali menghadapi masalah seperti ini?”
“Akhi,
sejatinya ana takut! Takut sekali jika Fatimah merasakan kesakitan yang lebih
daripada ini, atau mungkin jika Fatimah sampai batas waktunya di dunia ini dan
dipanggil oleh Allah. Seandainya bisa, tentulah ana rela mengorbankan diri ana
agar ana saja yang sekarang terbaring di sana dengan badan penuh luka, ataupun
seandainya tiba batas waktu itu, maka ana rela menggantikan kehidupan ana untuknya,
untuk Fatimah. Namun sayangnya, semua itu tidak bisa kita lakukan, karena
setiap manusia telah tergambar dengan jelas langkah-langkah kehidupannya!”
“Anak
itu adalah titipan, amanah dari Allah. Ana sangat mencintainya, sangat
menyayanginya! Namun, rasa cinta dan rasa sayang kepadanya tidaklah membuat ana
tidak ingin kehilangannya sama sekali jika memang sudah tiba batas waktunya.”
“Seharusnya
kita paham bahwa anak atau apapun yang kita miliki saat ini sesungguhnya semua
milik Allah, maka menjadi hal yang wajar jika Allah ingin mengambilnya
sewaktu-waktu karena itu memang hak-Nya! Bahkan kita pun seharusnya jangan
sampai menjadikan cinta kepada anak atau hal lainnya melebihi cinta kepada
Allah, Rasulullah serta agamanya. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Pencemburu dan
tentunya ia akan marah jika cinta kita kepadaNya tidak lebih dari yang lain
bahkan dinomor sekiankan! Cukup percaya kepada Allah, ia pasti akan memberikan
kita yang terbaik!”
“Hmm,
iya ustadz! Ana mengerti! Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari
berbagai kejadian malam ini!” sahut Haris yang kembali merasakan bahwa ia
mendapatkan pelajaran yang begitu berharga malam ini.
Tiba-tiba
tirai ruangan tempat Fatimah dirawat terbuka, dan sekali lagi dokter yang tadi
berbicara kepada mereka kembali menghampiri mereka lagi. Spontan Haris dan
Ustadz Ilyas berdiri menghadapi kedatangan dokter itu.
“Bagaimana
keadaannya Fatimah dok?” tanya Ustadz Ilyas tanpa basa-basi.
“Alhamdulillah
pak! Bapak tenang saja, keadaannya sudah membaik! Luka-luka sobekan di tubuhnya
sudah kami jahit semua sehingga pendarahan pun sudah berhenti. Pendonoran darah
juga sudah kami lakukan jadi kita tidak perlu takut lagi akan terjadi
kekurangan darah padanya. Seluruh luka yang ada di tubuhnya sudah kami tangani,
hanya saja ia masih pingsan dan mungkin perlu beberapa hari lagi ia baru bisa
siuman! Sabar ya pak, yang penting sekarang keadaannya sudah membaik?”
“Begitu
ya dok?”
Alhamdulillah
ya Allah!” ucap Ustadz Ilyas kemudian bersujud syukur kepada Allah di lantai
rumah sakit yang dingin itu.
Haris
pun memegangi tubuhnya ustadz Ilyas, dalam hati ia pun sangat bersyukur bahwa
Allah masih memberikan keselamatan bagi anaknya, terlebih ia pun berterima
kasih kepada Allah dan juga Ustadz Ilyas karena sekali lagi ia telah diajarkan
tentang arti sebuah kata, yakni cinta. Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang
didapatkannya pada malam hari ini.
Malam
yang penuh dengan bintang-bintang cantik nan kemilau di angkasa sana.
Senantiasa berdzikir, bersujud kepada Sang Pencipta yang bahkan kemilaunya
mengalahkan terangnya matahari sekalipun. Sungguh alam ini benar-benar cantik
dan indah, sayang manusia yang ada terkadang lupa untuk bersyukur kepada Allah!
Menyedihkan…
≡|||≡
Sekian
gimana ceritanya silahkan komentnya.....
gimana ceritanya silahkan komentnya.....