Sabtu, 01 Desember 2012


Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya


4

Cinta yang sejati itu tidak akan pernah menyakiti, ia akan senantiasa menghiasi kehidupan kita dengan bunga-bunga kehidupan nan indah…

Kata-kata itu senantiasa terngiang dalam pikiran Haris, begitu berarti makna yang tersirat dari perkataan Kak Shafy itu. Memang benar bahwa cinta itu tidak akan pernah menyakiti, jika ia memang cinta sejati yang sebenarnya, bukan cinta semu nan palsu yang tentu akan menyakiti siapapun yang merasakannya. Ia memang berniat menemukan jawaban akan pertanyaan yang hingga sekarang ini memang belum bisa ia temukan jawaban yang paling memuaskan untuk hal itu. Yah, perjalanan untuk mencari jawaban pun akan senantiasa ia lalui…
|||
Kampus hari ini cukup sepi, tak terlalu banyak aktivitas mahasiswa yang terlihat hari ini. Wajar memang, karena mulai hari ini kampus memasuki masa minggu tenang sebagai waktu untuk para mahasiswanya mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Tak terkecuali Haris, hari ini memang tidak ada kuliah atau agenda apapun di kampus namun ia tetap pergi ke kampus untuk belajar dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian akhir.
Saat itu ia sedang berada di sebuah gazebo fakultasnya, di sekelilingnya terlihat sepi. Hanya sedikit mahasiswa-mahasiswi yang ada di sana, kebanyakan memang juga sedang belajar. Haris duduk santai di bawah sebuah pohon besar nan rindang, menghadapi sebuah catatan pelajaran sambil berusaha mengingat-ngingat pelajaran-pelajaran yang sudah didapatkannya.
Pagi terasa menemani dengan setia keberadaannya di sana, membuat hawa sejuk tak terkira nikmatnya berkelakar di hadapannya. Damai dan sejuk, ia rasakan merasuk dalam dirinya. Nikmat sekali diberikan Allah seperti ini, walau kebanyakan dari manusia khususnya umat muslim yang lupa untuk bersyukur kepada Allah. Bahkan seringkali mencampakkan hukum Allah dalam menjalani kehidupannya.
Tiba-tiba…
“Assalamualaikum!” sebuah suara membuat Haris bangkit dari lamunannya akan kenikmatan Allah yang sedang berusaha diresapinya.
“Wa..wa..waalaikumussalam!” jawab Haris terbata karena kaget. Dilihatnya ternyata yang berdiri di hadapannya adalah sahabatnya sendiri, Rafi.
“Melamun aja, mikiran apa pak?”
“Oh, ga papa… Lagi menikmati alam aja! Tumben ke sini, ngapain?”
“Tuh..” jawab Rafi singkat sembari menunjukkan tangannya kepada seseorang.
Disana ada Devi yang sedang berbicara dengan seorang temannya. Teman perempuannya yang terlihat sangat beda jauh penampilannya dengan Devi. Jika Devi tidak memakai kerudung untuk menutupi kepala, rambut, dan bagian dadanya maka temannya itu memakai kerudung besar dan lebar rapi menutupi kepala hingga ke bagian dadanya. Selain itu Devi yang hanya memakai kaos tipis serta celana jins yang sangat ketat dan terlihat lekuk tubuhnya maka teman perempuannya itu memakai jilbab atau sering disebut sebagai gamis yang panjang serta lebar hingga mencapai tanah dan tak sedikitpun terlihat lekuk tubuhnya.
Haris sempat terpana melihat kedua orang itu. Jika seorang terlihat tidak begitu bisa menjaga kehormatan dan iffah dirinya, terlihat dari cara berpakaiannya maka yang lain justru terlihat sangat menjaga kehormatan dan iffah dirinya. Pakaiannya yang tertutup rapat cukup mewakili betapa ia sangat menjaga kehormatan dirinya sendiri.
Sepertinya antara Devi dan juga teman perempuannya itu sedang terlibat pembicaraan yang serius, bahkan tak jarang Devi seperti berwajah marah dan juga memaksa kepada teman perempuannya itu. Rafi yang sedari tadi berada di samping Haris pun tiba-tiba dipanggil oleh Devi untuk menuju ke tempat dimana Devi dan teman perempuannya itu berada. Kelihatannya ada sedikit masalah, karena merasa ada yang tidak beres, Haris pun mengikuti Rafi menuju tempat kedua perempuan itu berada.
“Ada apa Dev?” tanya Rafi kepada Devi.
“Ini loh, Fatimah susah banget buat dimintai tolong!” keluh Devi.
“Memangnya minta tolong apa?”
“Aku minta tolong supaya dia menggantikan aku untuk bisa maju dalam lomba menyanyi pekan seni tingkat kampus minggu depan! Karena kami berasal dari fakultas yang sama dan juga cuma dia satu-satunya orang yang kupercaya bisa menggantikanku, tapi dia ga mau ternyata!” jelas Devi.
“Oh, gitu. Lha, kamu kenapa ga mau Fat? Aku juga pernah tau bahwa kamu punya suara yang sangat bagus waktu semester lalu kamu ikut lomba yang sama dan menjadi pemenang pertama di lomba itu!” tanya Rafi kepada Fatimah.
“Itu kan dulu, sekarang kan udah ga seperti dulu lagi! Udah beda!” jawab Fatimah tenang.
“Apa bedanya? Apa salahnya menyanyi?” sahut Devi yang mulai marah kepada temannya itu.
“Tentu ada bedanya Vi, tidak ada salahnya memang menyanyi tapi ada pengecualian sedikit untuk kita, para wanita. Karena suara kita yang dibuat-buat, mendayu-dayu itu mampu membuat para kaum pria terangsang dan bisa menimbulkan pikiran yang macam-macam juga penyakit hati di dalam hatinya!” jelas Fatimah.
“Ah, itu kan kata kamu aja? Lagian yang salah juga para kaum pria, kenapa juga mereka berpikiran yang macam-macam?” bantah Devi.
“Devi, walau bagaimanapun, kita para kaum wanita juga turut andil dalam merusak kaum pria jika kita membiarkan apa-apa yang ada dalam diri kita ini, apakah itu badan, suara, aurat, kecantikan, dan lainnya seenaknya ditampilkan di depan mereka-mereka, para kaum pria yang bukan mahram kita. Bukankah wanita itu adalah sesuatu yang sangat berharga, dari rahim kita lah lahir para generasi baru, generasi-generasi yang nantinya akan menggantikan kita, bahkan wanita lah yang menjadi tolak ukur baik atau tidaknya sebuah negara, jika wanitanya baik maka baik pulalah negara itu dan jika wanitanya buruk maka tentu buruklah negara itu.” jawab Fatimah.
“Kita semua beragama Islam, kita semua berazzam kepada Islam dan karena Islam yang kita azzami, yang kita yakini memiliki seperangkat peraturan, seperangkat tata tertib dalam menjalani kehidupan ini, maka tentu sudah menjadi kewajiban kita semua untuk patuh dan taat kepada aturan itu. Termasuk ketika Islam menurunkan seperangkat aturan untuk para wanita muslimah, maka juga menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk mentaatinya suka ataupun tidak. Karena sebenarnya, aturan Islam yang ada khususnya untuk para wanita seperti misalnya menutup aurat, pakaian yang diperbolehkan dan diwajibkan dipakai oleh seorang muslimah itu seperti apa, bagaimana etika wanita berbicara di depan pria yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya kesemuaya adalah untuk memuliakan para wanita itu sendiri, untuk mencegah agar para kaum wanita tidak jatuh ke dalam jurang kenistaan, yakni hanya menjadi barang yang tidak berharga, pemuas nafsu pria, mainan para media yang tidak bertanggung jawab, ekploitasi tubuh dan lainnya.” lanjut Fatimah sambil tersenyum kepada Devi.
Sejenak keheningan mewarnai mereka berempat usai mendengar penjelasan dari Fatimah. Penjelasan dari Fatimah tadi agaknya sangat mempengaruhi dan membingungkan Devi. Disatu sisi, ia sangat memikirkan apa yang dikatakan Fatimah tadi namun di sisi lain, ia benci Fatimah menjadi seperti ini, dia berubah, tidak seperti Fatimah yang dulu lagi, dan ia menjadi sangat berbeda dengan dirinya. Sedangkan Haris, ia cukup kagum dengan penjelasan Fatimah, tidak menggurui dan tepat sekali susunan katanya agar seolah-olah apa yang disampaikannya itu juga untuk dirinya sendiri bukan malah membuat orang yang mendengarkannya menjadi objek yang bersalah.
“Jadi intinya kamu tetap ga mau buat gantikan aku untuk lomba nanti?” tanya Devi lagi untuk meyakinkan dirinya.
“Aku sih mau tapi aturan agama melarangku, ya mau gimana lagi? Maaf ya, aku ga bisa.”
“Ya sudah, ga masalah.”
“Semoga ini ga mempengaruhi kedekatan kita?” senyum Fatimah diberikannya kepada Devi.
“Iya, iya. Ya udah kalo gitu, aku sama Rafi mau pergi dulu, mau cari temen-temen lain yang mungkin bisa gantikan aku. Ayo Fi!” kata Devi sambil pergi menjauh dari mereka.
“Iya! Udah ya Ris, aku temenin Devi dulu! Wassalamualaikum!” kata Rafi kepada Haris.
“Ok, waalaikumussalam!” jawab Haris.
Akhirnya Devi dan Rafi pun pergi menjauh, meninggalkan Haris dan Fatimah yang agak canggung satu sama lain. Haris pun melihat kepada Fatimah yang berada di sebelah kanannya, agak jauh memang.
“Kalo gitu ana juga harus pergi, wassalamualaikum!” kata Fatimah tiba-tiba sambil menangkupkan kedua tangannya ke depan dan tentu saja sambil menundukkan pandangannya yang otomatis juga membuat Haris melakukan hal yang sama.
“Oh iya, waalaikumussalam!” jawab Haris singkat seraya tetap menundukkan pandangannya.
Dan Fatimah pun pergi, Haris sempat melihat kepergiannya dari jauh. Jilbabnya yang panjang dan lebar pun melambai-lambai, sungguh wanita yang sangat hebat. Haris salut dengan keistiqamahannya dalam menjaga iffah dirinya serta menjaga setiap perbuatannya agar selalu terikat dengan hukum syariat Islam dalam kondisi apapun, sungguh akhwat yang menakjubkan. Kemungkinan akhwat itu pun kenal dengan dirinya, walau hanya sebatas tahu sedikit tentangnya yakni bahwa ia adalah salah satu aktivis dakwah, terlihat ketika ia menggunakan kata “ana” kepadanya tadi. Kata-kata yang jarang digunakan oleh orang-orang yang tidak terbiasa menggunakannya, kebanyakan hanya oleh dan kepada sesama aktivis dakwah lah kata itu digunakan, jarang sekali digunakan kepada orang-orang biasa.
Bukannya ada perbedaan atau diskriminasi, tapi jika kita berbicara dengan memakai kata-kata yang jarang digunakan atau diketahui oleh lawan bicara kita yang dalam hal ini ia belum menjadi aktivis dakwah maka komunikasi akan menjadi sangat tidak efektif, apalagi dakwah juga sangat erat hubungannya dengan komunikasi. Salah seorang sahabat Rasulullah, Mush’ab bin Umair sudah memberikan kita semua sebuah contoh tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan baik kepada orang awam atau orang yang belum terlalu mengenal Islam untuk menyampaikan Islam kepadanya dengan baik dan juga mudah diterima.
Namun, tentu saja penyampaian Islam dengan komunikasi yang baik akan menjadi tidak bermakna jika penyampainnya pun ternyata mendistorsi makna sejati dari Islam itu sendiri dalam artian, agar Islam diterima maka beberapa hal dalam Islam yang “dianggap” mengerikan dihilangkan dan tidak disampaikan. Maka hal ini sangat berlawanan dengan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah, tidak pernah sekalipun beliau mengurangi makna Islam itu sendiri agar orang-orang lain mau menerimanya dengan cepat dan dalam jumlah banyak.
Jika memang menyembah patung berhala itu adalah sesuatu yang diharamkan maka Rasulullah mengatakannya dengan tegas dan lantang walaupun hal itu membuat banyak orang menjadi antipati dengan Islam dan menganggap Rasulullah beserta Islam adalah agama setan yang menyerang Tuhan-Tuhan berhala mereka sehingga sudah pasti pada waktu itu banyak sekali masyarakat Mekkah yang tidak mau masuk Islam. Jika memang hukuman razam dan cambuk wajib diberikan kepada para penzina, hukuman potong tangan kepada pencuri, atau hukuman qisash kepada pembunuh maka itulah yang pasti Rasulullah laksanakan mengingat itu adalah perintah langsung dari Allah melalui firmanNya, walau hal itu dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan, tidak berprikemanusiaan, Islam adalah agama yang kejam, dan lainnya oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam maka Rasulullah tidak terpengaruh dan tetap melaksanakannya. Atau jika memang menjadi sebuah kewajiban kepada Rasulullah dan seluruh umat Islam untuk taat kepada aturan Islam, suka ataupun tidak maka tentu Rasulullah pun tetap melakukannya dan menyuruh kepada umatnya untuk taat kepada Allah beserta aturanNya secara menyeluruh dalam artian mengambil seluruh apa yang diperintahkan Allah, tidak setengah-setangah.
Sungguh hebat akhwat itu, jika apa yang dikatakan Rafi benar bahwa semester lalu ia masih ikut lomba menyanyi itu dan belum menjadi seperti sekarang artinya perubahan yang terjadi pada dirinya terjadi belum lama ini. Bisa dipastikan mungkin bahwa ia memakai jilbab dan kerudung yang sedemikian rapatnya juga baru-baru ini atau bisa jadi ia pun mengkaji Islam juga baru dalam waktu yang singkat ini. Namun, sungguh sangat mengagumkan bahwa walau dalam waktu yang cukup singkat tapi keistiqamahan dan rasa keterikatannya kepada hukum-hukum syariat Islam sudah sangat tinggi. Padahal banyak aktivis dakwah yang sudah tersadarkan oleh hukum-hukum Islam namun keterikatannya kepada hukum syariat masih sangat rendah dan menyedihkan. Sangat memalukan untuk seorang aktivis dakwah…
Haris mulai berpikir, tidak mungkin jika seseorang mampu bertahan atas sesuatu tanpa didasari sesuatu, tanpa ada sumber yang mampu memberikannya kekuatan untuk tetap teguh memegang apa yang diyakininya, dan tanpa disadari oleh pemikiran dan perasaan yang kuat bahwa hal yang diyakininya itu benar. Bahkan tidak mungkin tanpa sesuatu yang sangat kuat ia berani mengambil resiko bahwa ia kemungkinan bisa kehilangan teman yang sangat dekat dengannya akibat pemahamannya tentang Islam itu, artinya ada sesuatu yang lebih penting lagi daripada sekedar kehilangan atau mendapat anggapan buruk dari seorang manusia, seorang teman. Hal yang lebih penting daripada perasaan cinta terhadap sesama manusia…
Sepertinya, keping-keping jawaban dari pertanyaannya mulai hadir dihadapan Haris. Namun, jawaban yang sempurna belum bisa ia dapatkan karena keping-keping jawaban masih belum terkumpul semuanya, jika sudah terkumpul dan disatukan maka tentu nanti akan menjadi sebuah jawaban yang sempurna. Cepat atau lambat, Haris yakin pasti bisa menemukan jawaban itu.
Tiba-tiba ada sebuah sms yang masuk ke dalam HP nya. Ternyata SMS dari Kak Shafy, bunyinya…
“Salam. Akhi, anak dri Ust. Ilyas sdng drawat di RS krna trkena DBD dn skrng keadaanx sdg kritis. Mhon doanya spy cpat smbuh. Insya Allah mlam ini ba’da isya ana mw mnjenguk bliau dn ank bliau, antm bsa temani ana?”
Sontak Haris pun kaget, anak dari Ustadz Ilyas tiba-tiba masuk rumah sakit karena terkena demam berdarah. Dia sendiri baru beberapa hari berkunjung ke rumah beliau dan dilihatnya anak beliau sehat-sehat saja, tapi hari ini benar-benar tidak terduga. Memang tidak ada yang bisa memastikan kapan manusia akan mendapat cobaan dalam hidupnya seperti penyakit, kematian, meninggalnya orang-orang yang kita cintai dan lainnya. Dan seharusnya manusia sadar, karena hal itulah manusia harus lebih beriman dan bertakwa kepada penciptanya.
SMS itu langsung dibalasnya dengan jawaban yang singkat.
“Salam. Insya Allah bisa, nanti ana jemput sebelum Isya di kos antum!”
Dan sepertinya malam ini pun akan memberikan Haris sebuah pelajaran yang sangat berharga dan tidak akan pernah terlupakan dalam perjalanan hidupnya.