Sabtu, 01 Desember 2012


Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya


3
Malam itu Haris sudah pulang dan berada di kosnya, namun tak seperti biasa. Kali ini ia sendiri tanpa ditemani Rafi, sahabat sekaligus teman satu kamarnya. Memang tak biasa jika Rafi pergi dan belum pulang juga hingga malam seperti ini, kecuali memang ada satu keperluan seperti mengerjakan tugas, organisasi, dan lainnya. Tapi, seingat Haris akhir-akhir ini, Rafi tidak lah berada dalam posisi seseorang yang sibuk, terlihat jelas bahwa kegiatannya begitu santai. Belum ada tugas-tugas yang baru dan juga organisasi yang diikutinya belum mengadakan acara dan kegiatan lagi.
Seperti biasanya, setelah shalat Isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, ia pun melewati malam itu dengan membasahi bibir serta menghiasi perkataannya dengan firman-firman Allah yang mulia, sembari hanyut dalam penghayatan terhadap makna tanpa celah keburukan dari kata-kata sang Maha Pencipta itu. Terlewat barisan kata per kata dengan kesempurnaan paling agung tiada cacat sedikitpun, dikawal dengan bacaan penuh penghayatan dari seorang makhluk lemah lagi hina. Al-Qur’an, kitab petunjuk bagi umat muslim khususnya dan manusia pada umumnya. Kandungannya begitu sempurna, peraturan hidup yang digariskannya sebagai aturan yang “seharusnya” ditaati oleh segenap makhluk hidup bernama manusia di dunia ini tanpa alasan untuk tak mentaatinya sedikitpun. Sayangnya, peraturan hidup itu dibuang dan tidak dipedulikan oleh kebanyakan manusia di dunia ini sehingga keluarlah mereka semua dari fitrah hidup yang harusnya melekat di diri mereka. Betapa menyedihkannya…
Ya, Islam tidak hanya berbicara tentang individu dengan Tuhannya saja namun juga berbicara permasalahan muamalah antar manusia di dunia ini yang peraturannya lengkap tertulis di Al-Qur’an dan juga telah dicontohkan oleh seorang manusia yang “seharusnya” juga menjadi idola semua manusia, yakni Rasulullah Saw. Islam mengatur seluruhnya, dari aspek individu, ibadah, politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lainnya. Tidak ada aspek kehidupan manusia yang bisa luput dari aturan Islam. Karena Islam itu sempurna.
Dan malam ini, Haris pun masih terus larut dalam penghayatannya…
|||
“Sampai ketemu besok pagi ya di kampus?”
“Oke.”
“Makasih banget buat hari ini, hati-hati di jalan ya? Langsung istirahat aja!”
“Insya Allah, makasih juga! Ok, sampe ketemu besok di sekolah ya? Wassalamualaikum.”
“Waalaikumussalam”, dan Devi pun berjalan masuk ke rumahnya.
Mereka berdua, Rafi dan Devi baru saja selesai “berkencan” di sebuah Mall di kota itu. Setelah jam kuliah berakhir, ba’da ashar tadi mereka pun langsung berangkat menuju mall itu. Hingga ba’da isya mereka baru pulang dari acara mereka.
Betapa menyenangkannya dunia ini ketika dua sejoli ini merasakan perasaan cinta satu sama lain yang mungkin bagi mereka itu adalah cinta sejati. Lalu sebenarnya apa cinta sejati itu? Seperti apa? Dan dimana kita bisa mendapatkannya?
Dan malam pun hening tanpa suara, sang rembulan menutup malu wajahnya dalam balutan lembut sang awan. Malam ini begitu hening, tenang, dan damai. Bersahabat dengan hati dan membelainya dengan lembut. Hati pun tenang tanpa gundah sedikitpun, ketenangannya bagai lautan indah yang tidur tanpa gelombang. Rafi pun tersenyum dalam perjalanan menuju kosnya, begitu indah hari ini baginya. Cinta yang disambut, bahagia melihat orang yang dicintai berbahagia, bahagia dekat dengan orang yang dicintai, dan lainnya. Mungkin jika ia meninggal malam ini pun tidaklah apa-apa karena setidaknya ia sudah melewati malam yang sangat berbeda dari kehidupannya yang biasa namun begitu membahagiakan baginya.
Rafi pun tiba di kosnya…
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam.” Haris menjawab.
“Dari mana Fi? Kok tumben baru pulang?”
“Habis jalan sama Devi, tadi temenin dia beli sesuatu.” Rafi menjawab dengan santainya.
“Hah Devi? Kenapa?” Haris pun sontak terkaget.
“Yah… payah kamu ini Ris! Belum dengar berita di kampus yah kalo aku udah jadian sama Devi, baru tadi pagi!”
“Jadian? Pacaran maksudnya?”
“Yup, dan tahu ga ternyata Devi itu orangnya menyenangkan dan begitu baik hati?”
“Ya bukan itu masalahnya Fi, tapi apa kamu yakin menempuh jalan seperti ini? Dengan berpacaran?”
“Apa salahnya? Ini kan sebagai jalan perkenalan sama dia, kali aja kami cocok hingga bisa jadi suami istri nantinya?”
“Terus, kalo misalnya ga cocok gimana?”
“Insya Allah cocok lah!”
“Tapi Fi…”
Namun, perkataan Haris dipotong oleh Haris.
“Udah, aku lagi malas sama cape buat diskusi sama kamu, lain kali aja ya? Aku mau bersih-bersih diri dulu nih! Mandi! Ok?”
Dan seketika Rafi pun beranjak pergi menuju kamar mandi kos mereka. Seperti biasa, Haris pun terdiam dalam lamunannya, ditemani dengan berbagai macam pikiran, pertanyaan, dan kebingungan akan sahabatnya yang satu ini. Sahabat yang sangat ia sayangi ini, tentu ia tidak ingin sahabatnya ini menempuh jalan yang salah dalam hidupnya.
Entahlah, ia bingung harus seperti apa karena disatu sisi ia pun belum menemukan jawaban akan pertanyaan yang ia ajukan sendiri kepada dirinya. Kak Shafy hanya memberikan koridor dan petunjuk untuk mencari jawaban itu, sama sekali beliau tidak mau memberikan jawaban penuh akan pertanyaan ini. Sebenarnya dimana jawaban itu? Dan kapan bisa ditemukan jawaban itu?
Dan dalam lamunannya, tanpa sadar Haris masuk dalam alam mimpinya. Meninggalkan untuk sementara kehidupan di dunia ini, pergi jauh dan bebas ke alam mimpi yang diciptakan Tuhan sebagai teman tidur tiap manusia.
Menengadah ke langit, di sana tampak Sang Rembulan tidur dengan cantiknya. Cahayanya yang begitu lembut seolah menyihir semua orang untuk menghentikan segenap aktivitas yang dilakukannya serta mengawal mereka menuju alam satunya lagi. Seraya menunggu kedatangan Sang Mentari esok harinya. Angin malam membelai lembut di sela-sela dedaunan dan rerumputan, membuat mereka bergoyang menari dengan irama teratur tanpa merasa terbebani sedikitpun. Namun, satu hal yang pasti, yakni mereka selalu berdzikir menyucikan Tuhannya, Sang Pencipta mereka tanpa merasa lelah, tanpa merasa terbebani. Hal seperti ini, sayangnya tidak bisa dilakukan oleh manusia yang dikatakan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tanpa cacat dibandingkan dengan makhluk hidupNya yang lain. Manusia sering lupa, sering lalai untuk mengingat Tuhannya, bahkan seringkali banyak diantara mereka ingkar terhadap hukum-hukum Allah, Syariat Islam dan kewajiban untuk mentaatinya. Syariat yang tidak hanya hadir dalam hubungan manusia dengan Allah semata, namun juga hadir dalam hubungan antar sesama manusia. Hanya saja kebanyakan manusia tidak mengetahuinya dan justru ingkar pada hukum-hukumNya.
Dan kembali, nyanyian para binatang malam mengawal perjalanan Sang Malam menuju tempat bertemunya dengan Sang Mentari, begitu indah dan begitu damai…
|||
“Hari ini ada acara ga?” Haris bertanya kepada Rafi yang ingin berangkat kuliah.
“Memangnya kenapa?” Rafi balik bertanya.
“Ga papa sih, aku mau ngajak kamu ikut kajian sore ini. Ikut yo?”
“Jam berapa emangnya?”
“Sore ba’da ashar, langsung kita pengajian. Nanti shalatnya sama-sama di mesjid kampus! Gimana?” Haris bertanya kepada Rafi.
“Sory Ris, kayaknya aku ga bisa. Soalnya udah ada janji sama Devi!”
“Kemana? Ga bisa ditunda? Ini bagus lo pengajiannya!” Haris mencoba membujuk Rafi.
“Temenin dia ke Mall, ada yang mau dibelinya!” Rafi menjawab dengan santainya.
“Lagi?” Haris merespon dengan singkat tapi juga merasa aneh dan kaget.
“Iya, biasalah anak cewek. Kebutuhannya pasti banyak! Udah ya, aku berangkat dulu. Assalammua’laikum!”
Dan Rafi pun berlalu meninggalkan Haris dalam pikirannya. Haris berpikir, wanita mana yang setiap hari pergi berbelanja seolah-olah dia tidak pernah merasa kebutuhan hidupnya bias terpenuhi. Seraut perasaan takut menghampiri Haris, jangan-jangan Devi menerima Rafi hanya karena Rafi itu anak orang kaya dan mempunyai banyak uang. Jika memang begitu, maka ini pasti akan menjadi masalah besar dan suatu saat nanti akan membuat Rafi sendiri merasa kesakitan. Namun sayangnya, ia sendiri pun bingung harus melakukan apa karena hingga saat ini pun ia belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang ia sendiri ajukan. Tapi, ia akan tetap mencoba membujuk Rafi untuk tidak menempuh jalan seperti yang ia tempuh sekarang dengan Devi, tidak peduli Rafi marah atau mencaci-maki dirinya, yang terpenting ia harus bisa menyelamatkan sahabatnya itu.
|||
Siang ini begitu panas, agaknya awan pun enggan menghalangi keganasan sinar matahari untuk memanggang seantero dunia. Terlihat jelas awan bergerak menjauh dan memberikan ruang yang begitu lebar bagi matahari di angkasa raya sana. Panasnya siang hari ini tidak menghalangi Rafi dan Devi untuk pergi ke Mall setelah jam kuliah mereka berdua selesai.
“Mau beli apa aja Vi hari ini?” Rafi tiba-tiba bertanya pada Devi ketika mereka bertemu di Gazebo Kimia seusai jam kuliah hari itu.
“Biasa, kebanyakan sih barang-barang keperluan sehari-hari terus juga mungkin sekalian beli baju!” Devi santai menjawab.
“Ya udah, yuk berangkat! Udah ga ada yang ditunggu kan?”
“Iya!”
“Kamu tunggu bentar di sini, aku ambil kendaraan bentar ya? Ada di Hutan MIPA soalnya kendaraanku!”
“Oke!”
Rafi pun berjalan menjauh dari Devi dan dengan segera pergi ke Hutan MIPA untuk mengambil kendaraannya. Sementara itu, tiba-tiba Devi didekati oleh tiga orang mahasiswa yang lebih tua penampilannya dari dia, mungkin mereka adalah kakak tingkatnya. Secara spontan mereka pun menyapa Devi.
“Hai, boleh kenalan ga?” kata salah satu dari ketiga mahasiswa itu.
“Boleh!” Devi menjawab singkat dan santai.
“Namaku Andi dan ini teman-temanku, Ilan dan Iras!” Sembari mengulurkan tangannya kepada Devi untuk bersalaman.
“Devi!” Devi menjawab singkat sambil menyambut tangan Andi untuk menyalaminya dan juga menyalami kedua temannya yang lain.
“Boleh minta nomor handphone kamu ga?”
“Buat apa?”
“Ya ga buat apa-apa. Buat ngobrol-ngobrol aja.”
Devi pun mengerti dan ia memberikan nomor handphonenya kepada Andi. Dalam hati ia membanggakan dirinya sendiri, begitu banyak laki-laki yang ingin mengobrol dengan dirinya atau bahkan hanya sekedar berkenalan dengannya, tentu tidak lain adalah karena ia memiliki wajah yang cantik dan juga mempunyai banyak potensi akademik dalam dirinya. Bahkan ia berpikir, untuk mendapatkan Rafi saja sangatlah mudah.
Kemudian tiba-tiba ia melihat Rafi sudah menunggunya di ujung jalan sana dan memberi isyarat untuk segera mendatanginya. Ia pun menyudahi pembicaraannya dengan tiga orang mahasiswa tadi kemudian pergi menuju tempat Rafi menunggu dirinya. Sampai di tempat Rafi, Rafi pun menyerahkan sebuah helm kepadanya dan mengisyaratkan dirinya untuk memakai helm itu.
“Siapa tiga laki-laki tadi?” Rafi bertanya kepada Devi setelah melihat kejadian tadi.
“Oh mereka. Biasa…cuma ngajak kenalan terus minta nomor handphone!” Devi menjawab dengan santai.
“Terus dikasih?” Rafi bertanya kembali.
“Iya. Udah ah, ayo berangkat!” Devi pun dengan santainya menjawab tanpa ada gurat rasa bersalah di wajah dan perasaannya terhadap Rafi.
Sedangkan Rafi, terlihat jelas gurat kekecewaan di wajahnya sedangkan di hatinya, sebuah luka kecil telah menggores hatinya. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang salah tentang hal ini, namun ia tidak bisa mendefinisikan dan menentukan apa itu. Yang pasti ada sesuatu yang salah, entah apa…