Sabtu, 01 Desember 2012


Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya


5
Malam itu, seusai shalat isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, Haris pun langsung tancap gas menuju kosnya Kak Shafy untuk menjemputnya kemudian bersama-sama menuju rumah sakit Lafalet di tengah kota untuk menjenguk anak Ustadz Ilyas yang sedang sakit keras terkena demam berdarah. Sebentar saja, ia sudah sampai di depan kosnya Kak Shafy, dan ternyata beliau sudah siap di depan kosnya hingga tak lama kemudian mereka berdua berangkat menuju rumah sakit itu. Sebelumnya Kak Shafy sudah mengirim sms kepada Ustadz Ilyas yang mengabarkan bahwa mereka berdua akan berkunjung ke tempat beliau, dan alhamdulillah beliau tidak keberatan.
“Kok bisa ya kak anak beliau terkena DBD? Padahal kan baru saja beberapa hari yang lalu kita berkunjung ke rumah Ustadz Ilyas dan melihat anak beliau, si Fikri baik-baik saja. Bahkan kita sempat bermain-main bersama dia?” tanya Haris yang kaget sekaligus kebingungan.
“Ya begitulah dek yang namanya ketentuan Allah. Kita kan ga akan pernah bisa tau kapan dan apa yang akan terjadi pada kita? Ingat kan kalau manusia itu sangat lemah, bahkan menentukan dia lahir sebagai laki-laki atau perempuan saja tidak bisa kan?” jawab Kak Shafy.
“Iya ya kak, manusia sangat lemah. Tapi anehnya kak ya, manusia yang lemah itu berani mengingkari hukum dan perintah yang Maha Kuat, bahkan sampai ada yang berani membuat hukum juga perintah untuk menandingi hukum dan perintah dari yang Maha Kuat!”
“Itulah manusia yang kelewat batas menggunakan akal dan apa-apa yang diberikan Allah. Misalnya saja akal, Allah memberikan manusia akal agar digunakan untuk menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga manusia bisa membuktikan bahwa Allah itu ada kemudian mengimaninya. Lha ini? Ada saja manusia yang kelewat gila menggunakan akalnya, ia berani menentukan wujud Allah itu seperti apa, malaikat, dls. Bahkan berani mengambil peran dan hak prerogatif Allah untuk membuat hukum peraturan kehidupan ini!”
“Bener-bener manusia yang pantas diazab ya kak?”
“Hmmm.. Bisa jadi!”
Tak terasa perbincangan dengan Kak Shafy telah mengantarkan mereka sampai di depan rumah sakit Lafalet, tempat anak ustadz Ilyas dirawat. Segera saja Haris memarkirkan kendaraannya dan kemudian masuk ke dalam rumah sakit itu melalui pintu masuk utama. Ketika memasuki rumah sakit ini, kesan pertama yang muncul adalah suasana khas zaman dahulu. Rumah sakit yang didominasi dengan warna hijau ini bukanlah rumah sakit dengan gedung tinggi serta ada lift di dalamnya. Bukan! Rumah sakit ini seperti layaknya rumah biasa tanpa lantai bertingkat namun sangat luas. Haris sempat terkagum dengan desain dari tempat itu, unik dan juga masih sangat lekat suasana khas zaman dahulu. Dilihatnya orang-orang berbaju putih lalu-lalang, terlihat sibuk sekali dengan urusan masing-masing. Ada pula pasien-pasien yang keluar dari kamar rawatnya dan berjalan-jalan di areal rumah sakit itu. Mungkin sekedar melepas kepenatan dan juga kebosanan setelah sekian lama berada di dalam kamar rawat.
“Kak, ruangannya anak Ustadz Ilyas yang mana?” tanya Haris tiba-tiba.
“Katanya sih di ruangan bernama Bangsal Melati nomor 10 B!”
Sambil terus berjalan, Haris memperhatikan sekitarnya, dilihat dan dibacanya tulisan-tulisan yang bertebaran di sekitarnya. Bangsal Mawar, Teratai, Pandan, dls. Banyak sekali memang tulisan-tulisan di sana. Kemudian tanpa sengaja matanya menangkap sebuah tulisan yakni Bangsal Melati. Spontan Haris pun memperingati Kak Shafy dan menunjuk kepada tulisan itu. Kak Shafy paham dan mereka pun memutar haluan menuju tempat tulisan itu, ketika sampai di sana ternyata ada begitu banyak bayi yang sedang dirawat sehingga mereka berdua mengambil kesimpulan bahwa memang inilah tempatnya anak ustadz Ilyas dirawat.
Kak Shafy mencoba mengirim sms kepada ustadz Ilyas untuk memberitahukan bahwa mereka berdua sudah berada di depan ruangan yang diberitahukan ustadz Ilyas kemarin. Lama tak ada balasan dari ustadz Ilyas. Sambil menunggu balasan dari beliau, Haris sempat memperhatikan bayi-bayi mungil yang kini sedang dirawat oleh para suster dan juga dokter yang mayoritas memakai baju putih. Wajah bayi-bayi itu begitu polos dan teduh, juga lucu. Begitu damai mereka tertidur di inkubatornya walau sesekali ada pula yang terbangun kemudian menangis keras. Bayi-bayi ini belum tahu bahwa ketika mereka beranjak dewasa nanti, akan ada begitu banyak virus kufur, pemikiran kufur yang akan menodai kesucian jiwa mereka untuk beriman kepada penciptaNya.
Ketika sudah dewasa nanti, mereka akan dihadapkan dengan keadaan ekonomi yang serba sulit, kemudian fakta akan begitu banyaknya kemiskinan di sekitar mereka akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang hanya memihak para pemilik modal dan tidak pernah berpihak kepada rakyat. Kemudian mereka juga akan bertemu dengan tatanan kehidupan yang serba kacau, mereka akan bertemu dengan tindakan kriminalitas dimana-mana, kehidupan yang serba bebas seperti layaknya hewan, aurat wanita murahan yang berhamburan, politik kejam tak berprikemanusiaan yang hanya mengincar materi, nafsu manusia yang mudah sekali diumbar tak terkendali, dan bahkan masih banyak lagi yang lainnya. Ya, semua itu tidak lain adalah penyebab diterapkannya sistem kufur di kehidupan manusia dan sistem kufur itu bernama Demokrasi yang merupakan anak cucu dari sistem kufur Kapitalisme-Sekularisme. Begitu memprihatinkan bagi mereka, para anak-anak tak berdosa ini yang lahir di tengah-tengah diterapkannya sistem kufur ini. Mungkin, jika mereka bisa menawar kepada penciptaNya untuk tidak lahir di tengah-tengah sistem kufur yang saat ini sedang merajalela maka tentu mereka akan melakukannya, namun sayang hal itu tidak bisa terjadi, karena semuanya sudah ditentukan Allah.
Tiba-tiba sms dari Ustadz Ilyas tiba, bunyinya
“Waalaikumussalam. Oh, alhmdllah antm br2 udh smpai. afwn, mhn dtnggu y, ana sdg dlm prjlanan k sna?”
Kak Shafy pun menjawab singkat sms itu yang menyatakan bahwa mereka akan menunggu. Sambil menunggu kedatangan ustadz Ilyas, Haris dan Kak Shafy duduk di sebuah kursi kayu panjang yang terletak tak jauh dari pintu masuk Bangsal Melati.
“Dek, gimana dengan perjalanan antum untuk mencari jawaban pertanyaan dari kakak? Apa sudah sampai pada tempat tujuan dan mendapatkan jawaban?” tanya Kak Shafy tiba-tiba.
Haris mengerti apa yang dibicarakan oleh Kak Shafy, pastilah tentang definisi cinta yang dulu ia tanyakan kepada Kak Shafy namun kemudian Kak Shafy menyuruh Haris agar mencari jawabannya sendiri.
“Hmmm.. Iya sih kak, ana memang sedang melakukan proses mencari jawaban itu, memang ada beberapa kejadian yang ana temukan dan alami yang bisa mendefinisikan jawabannya, tapi ana masih belum yakin dan perlu berbagai pelajaran lagi ke depannya untuk menyempurnakan jawaban itu.” terang Haris kepada Kak Shafy.
“Oh begitu, ana mengerti. Semoga secepatnya mendapatkan jawaban yang tepat dan sudah tentu harus sesuai dengan hukum syara.” jawab Kak Shafy seraya tersenyum kepada Haris.
“Syukron. Insya Allah kak.”
Perjalanan panjang untuk mencari sebuah jawaban, ujungnya memang belum jelas namun cahaya anggun nan suci bersiaga menyambut di ujung jalan. Jalan yang telah dipilih oleh keimanan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta. Insya Allah barakah selalu beriring tak terputus.
“Assalamualaikum!” sebuah salam mengagetkan mereka.
“Waalaikumussalam.” jawab mereka berdua hampir bersamaan.
Ternyata itu adalah Ustadz Ilyas, beliau ternyata sudah tiba.
“Afwan, sudah lama ya menunggu?” tanya Ustadz Ilyas seraya menyalami mereka berdua.
“Oh tidak ustadz.” jawab Haris tersenyum.
“Afwan ya, ana tadi pergi membeli makanan sebentar. Ayo, mari masuk, kita duduk-duduk di depan kamar anak ana dirawat aja!” ajak Ustadz Ilyas.
Mereka bertiga pun masuk dan bersama-sama menuju ke teras depan sebuah kamar bernomorkan 10 B dan duduk bersama di depan kamar tersebut. Di sana juga ada orang-orang yang sedang duduk dan asyik mengobrol, mungkin mereka juga sedang menunggui keluarga ataupun teman mereka yang sedang sakit. Sambil duduk, Ustadz Ilyas menyuguhkan sedikit makanan ringan dan juga minuman air putih berkemasan, setelah tadi sempat masuk sebentar ke dalam untuk mengantarkan makanan yang dibelinya kepada istrinya yang sedang menjaga anaknya.
“Gimana ustadz keadaan Fikri?” tanya Kak Shafy membuka pembicaraan di antara mereka.
“Alhamdulillah sedikit membaik, setidaknya tidak sekritis kemarin malam. Kemarin istri benar-benar panik melihat keadaan Fikri, untung ana langsung membawanya ke sini sehingga bisa langsung mendapatkan perawatan. Dan untungnya ana juga memilih rumah sakit ini karena pelayanannya lebih cepat dibanding rumah sakit lain.” jelas ustadz Ilyas.
“Sekarang lagi tidur ya ustadz?” Haris yang bertanya kemudian.
“Iya, alhamdulillah bisa tidur dia. Padahal malam tadi dia nangis terus, sampai umminya sendiri pusing!”
“Terus kata dokter apa ustadz?”
“Yah, dia memang terkena demam berdarah dan tingkat trombosit serta leukositnya pun sangat rendah. Dokter menyuruh ana memberi makan Fikri makanan yang bergizi dan alami serta jus jambu dan tak lupa air putih. Tentu saja Fikri pun harus banyak istirahat.”
“Yah, semoga saja Fikri bisa cepat sembuh.”
“Amien!” jawab Ustadz Ilyas seraya tersenyum kepada mereka berdua.
Tiba-tiba pintu kamar rawat tempat anak ustadz Ilyas dirawat terbuka, kemudian keluar lah dua orang akhwat dari kamar itu. Akhwat yang pertama berjilbab dan berkerudung merah muda, sedangkan akhwat yang kedua berjilbab merah tua dipadu dengan kerudung yang juga berwarna senada dengan jilbabnya. Salah satu dari kedua akhwat itu tidak lah asing bagi Haris, beberapa hari yang lalu ia sempat bertemu dengannya ketika waktu itu si akhwat sedang berbicara dengan Devi. Ya benar, dia adalah Fatimah, akhwat yang sempat membuat Haris kagum akan keteguhannya untuk taat kepada aturan Allah pada pertemuan mereka yang sangat singkat itu. Dan kali ini, ia bertemu kembali dengannya, namun dalam suasana yang jauh berbeda dan tak terduga. Haris sendiri bingung, sedang apa ia dan temannya berada di sini.
“Abi, Fatimah pulang dulu ya? Soalnya besok ada ujian di kampus, mau belajar dulu. Ga papa kan bi?” tanya Fatimah sopan kepada Ustadz Ilyas.
Abi? Seketika itu pula Haris terkejut, ternyata Fatimah adalah anak perempuan dari ustadz Ilyas. Tapi, kalaupun begitu, kenapa setiap ia mampir ke rumah Ustadz Ilyas tidak pernah bertemu dengannya. Apa ia jarang berada di rumah?
“Iya nak, pulang saja. Ga papa kok, insya Allah abi dan ummi sudah cukup untuk menjaga Fikri di sini. Hati-hati di jalan ya, dan jangan lupa untuk beristirahat?” jawab Ustadz Ilyas.
Kemudian mereka berdua pun menyalami ustadz Ilyas dan berjalan pergi menjauhi mereka bertiga sembari mengucapkan salam yang dijawab serentak oleh mereka bertiga.
Ketika lewat di depan Haris, Fatimah sempat melihat kepada Haris dan begitupula Haris, yang membuat mereka justru saling menundukkan pandangannya. Dan kedua akhwat itu pun menghilang di ujung gang. Rasa penasaran Haris pun membuat ia tidak bisa membendung pertanyaan yang sedari tadi ingin ia ajukan pada ustadz yang ada di depannya saat ini.
“Ustadz, boleh ana bertanya?” kata Haris.
“Mengenai Fatimah tadi?” agaknya Ustadz Ilyas mengerti kebingungan di diri Haris.
“Iya ustadz! Afwan, Fatimah itu anak perempuan antum ya ustadz? Tapi kok setiap kali ana berkunjung ke rumah antum, dia ga pernah ana liat ya? Atau memang dia jarang di rumah?”
“Iya, Fatimah memang anak ana. Wajar memang antum tidak pernah melihatnya karena ia memang tidak tinggal di rumah bersama ana. Ia lebih memilih tinggal di kost semenjak awal semester tadi.” jelas Ustadz Ilyas.
“Loh kenapa ustadz?” lanjut Haris penasaran.
“Katanya dia ingin belajar mandiri dan mencoba mengurus segala macamnya sendiri, masalah atau apapun itu. Yah, ana berpikir itu tidaklah begitu menjadi masalah karena memang itu mungkin bisa menjadi yang terbaik baginya. Lagipula, ia tidak seperti dulu lagi yang jauh bahkan tidak mengenal ajaran Islam. Sekarang, insya Allah ia telah menjadi seorang muslimah yang turut memperjuangkan kemenangan syariat Islam dan tegaknya Khilafah Islamiyah di bumi Allah ini. Karenanya, ana cukup merasa tenang akan dirinya dan percaya kepadanya.” jelas Ustadz Ilyas panjang lebar.
“Oh iya ustadz, ana mengerti!”
“Iya ya ustadz, ana juga bingung dan kaget. Setahu ana ditambah penglihatan dari beberapa teman di kampus bahwa anak antum itu dulu kalau tidak salah memang terkesan jauh dari Islam. Bahkan, afwan ustadz, iya terkenal hedonis. Tapi, semenjak semester tadi ia berubah 180 derajat, entah apa yang terjadi? Ia mulai memakai jilbab yang benar-benar syar’I, kemudian juga perlahan-lahan meninggalkan aktivitasnya dahulu, dan masih banyak lagi aktivitas maksiatnya dulu yang ia tinggalkan. Subhanallah sekali!” kata Kak Shafy tiba-tiba.
“Itulah namanya hidayah, tidak ada seorang pun yang tahu. Kita hanya bisa mengusahakan datangnya hidayah itu, perkara Allah mendatangkannya atau tidak, itu semua adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada seorang pun yang bisa campur tangan. Ana sendiri awalnya hampir menyerah dengan sifat dan kelakuan dia namun untungnya ana sadar bahwa ana tidak boleh menyerah dan mundur sedikit pun bahkan hingga nanti ana kembali kepada Allah. Alhamdulillah ternyata Allah menjawab segala usaha dan doa kami. Tiba-tiba ia berubah seperti itu, kemudian belajar istiqamah dan semakin mendekatkan diri kepada Islam, benar-benar nikmat yang tak ternilai harganya. Syukur kepada Allah yang tak terhingga tentu ana lantunkan!” jelas Ustadz Ilyas.
Kami berdua sepakat, memang melihat orang-orang yang kita cintai masuk ke dalam satu barisan bersama kita untuk memperjuangkan Islam merupakan salah satu nikmat yang tak ternilai harganya apalagi jika hal itu terjadi melalui usaha kita. Selain mendapatkan pahala dari Allah yang begitu banyak, kita juga akan mendapatkan kebahagiaan dengan kebersamaan kita dengan orang yang begitu kita cintai itu.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Begitu banyak hal dan ilmu-ilmu yang didapat dari pembicaraan dengan Ustadz Ilyas. Namun, sudah waktunya untuk kami berdua pulang, karena besok pun masih banyak amanah dakwah dan kegiatan yang menunggu. Maka mereka berdua pun berpamitan dengan Ustadz Ilyas untuk pulang, Ustadz Ilyas begitu berterimakasih akan kedatangan mereka berdua. Tak lupa, keduanya mendoakan agar Ustadz Ilyas diberikan kesabaran dan tentu saja semoga Fikri bisa sehat kembali, yang tentu saja langsung diamini oleh Ustadz Ilyas. Maka mereka pun berpisah yang ditandai dengan jabatan tangan dan ucapan salam.
Haris dan Kak Shafy langsung saja menuju tempat parkir dimana kendaraan Haris diparkirkan. Dan sesaat kemudian, mereka berdua langsung melaju menuju kos Kak Shafy. Seperti biasa, di perjalanan pun mereka sibuk ngobrol tentang berbagai macam hal dan lagi-lagi pembicaraan mereka tak terasa telah mengantarkan mereka berada di sebuah jalan besar yang walau sudah hampir tengah malam namun masih padat arus lalu-lintasnya. Wajar saja, karena jalan itu merupakan jalan utama yang sering dilalui oleh mobil-mobil maupun kendaraan yang ingin pergi keluar kota.
Saat itu, Haris mengemudikan kendaraannya agak ke samping kiri jalan dekat trotoar dengan agak lambat, tidak begitu cepat. Kemudian tiba-tiba, di belakang mereka berdua terdengar suara…
“Ciiittttttttttt….!” bunyi ban mobil direm mendadak.
“Aaaaaaaaaaa…!” diiringi oleh teriakan seorang perempuan.
Terang saja mereka berdua mendengarnya dengan sangat jelas. Seketika itu pula mereka langsung melihat ke belakang mereka, dan ternyata terjadi kecelakaan tidak jauh di belakang mereka. Entah kenapa, hati Haris berkata bahwa ia harus menghentikan perjalanan pulangnya dan melihat kejadian itu. Kak Shafy pun setuju untuk melihat kecelakaan itu, maka setelah Haris menghentikan kendaraannya dan meletakkannya di bagian kiri jalan dekat trotoar, mereka berdua pun langsung berlari menghampiri tempat kejadian. Saat itu orang-orang yang ada di sekitar tempat itu pun mulai berlari mendatangi sebuah tubuh yang kini telah terbaring di tengah jalan.
“Ada apa pak?” tanya Kak Shafy pada seorang bapak-bapak.
“Sepertinya kecelakaan dek!” jawab bapak itu singkat.
Haris kemudian langsung pergi berlari mendekati tubuh seorang perempuan yang kini tengah terbaring pingsan di tengah jalan. Orang-orang pun mulai berkerumun di sekitar Haris yang kini sudah sampai di dekat tubuh perempuan itu.
Setelah menekuri sesaat orang yang kini tengah terbaring, ia akhirnya sadar siapa yang mengalami kecelakaan. Saat itu memang keadaan sekitarnya gelap sehingga perlu beberapa saat bagi Haris untuk menyadari siapa yang mengalami kecelakaan. Namun, setelah ia melihat wajahnya yang berlumuran darah dan tengah terbaring, ia sangat terkejut. Ternyata, ia mengenal orang yang kini tengah mengalami kecelakaan itu.
Ia memang adalah seorang perempuan yang baru saja Haris kenal, bahkan baru saja sesaat tadi ia bertemu dengannya di rumah sakit. Benar, perempuan yang kini tengah terbaring diam di depannya serta berlumuran darah itu adalah Fatimah. Jilbab dan kerudung merah mudanya berlumuran darah, wajahnya pun sama. Ia diam, tak bergerak. Pingsan!
Kemudian tak jauh dari Fatimah, temannya yang tadi juga bertemu dengan Haris di rumah sakit juga ada di sana. Ia sedang terduduk sambil meringis kesakitan, untungnya ia masih sadar dan tidak pingsan seperti Fatimah.
Haris pun sadar ia harus mengambil sebuah tindakan.
“Tolong bu!” teriak Haris sambil mengisyaratkan seorang ibu-ibu yang dilihatnya berada di kerumunan itu untuk mendekatinya dan Fatimah.
“Tolong bu, dia adalah teman saya. Tolong rawat dia! Tolong ibu-ibu dan perempuan lainnya juga ikut membantu! Dan tolong dibawa ke trotoar itu terlebih dahulu!” teriak Haris kepada seluruh kerumunan sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.
Kak Shafy juga melihat bahwa yang mengalami kecelakaan itu adalah Fatimah dan juga temannya, tentu saja Kak Shafy mengerti apa yang Haris lakukan dan juga apa yang harus ia lakukan, ia langsung bertindak.
“Pak-pak, tolong saya pak untuk mengangkat kendaraannya juga mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan!” teriak Kak Shafy kepada kerumunan dan orang-orang di sekitarnya.
Para bapak-bapak dan laki-laki di tempat itu pun bergegas membantu Kak Shafy untuk mengatur lalu lintas yang saat itu memang terjadi kemacetan cukup panjang juga mengangkat kendaraan Fatimah yang kini saat itu berada di tengah jalan. Beberapa dari bapak-bapak itu ada yang membantu ibu-ibu yang diminta Haris mengurus Fatimah untuk mengangkatnya ke pinggir jalan dan ada pula yang membantu Kak Shafy mengatur lalu lintas di sekitar tempat kejadian itu serta mengangkat kendaraan Fatimah untuk dibawa ke pinggir jalan.
“Ada yang punya mobil? Ada yang bawa mobil? Tolong siapapun yang membawa mobil, antarkan dia ke rumah sakit terdekat!” tanya Haris cepat.
“Kami membawa mobil! Biar antar memakai mobil kami saja!” jawab seorang ibu.
“Dimana bu mobilnya?”
“Sebentar diambilkan suami saya dulu, ada di sana!” jawab ibu itu seraya menunjuk ke tempat dimana mobil itu berada.
Suami ibu itu pun bergegas berlari menuju tempat mobil berada. Sementara Haris langsung berlari menuju Kak Shafy kemudian memberikan kunci kendaraannya kepada Kak Shafy.
“Kak, ana ke rumah sakit dulu! Sekalian memberikan kabar kepada Ustadz Ilyas! Antum di sini mengurus yang tersisa ya?” kata Haris dengan tergesa-gesa.
“Ya, hati-hati!” jawab Kak Shafy singkat, ia mengerti.
Haris kemudian berlari kembali menuju tempat Fatimah, ternyata ketika itu Fatimah dan temannya sudah dimasukkan ke dalam mobil. Haris pun juga masuk ke dalam mobil, dan duduk di tempat duduk paling belakang. Sedangkan Fatimah dibaringkan di tempat duduk tengah mobil dan kepalanya dipangku oleh temannya yang juga duduk di sana. Dan ibu tadi duduk di depan, di samping suaminya yang menjadi supir.
Perjalanan menuju rumah sakit pun dimulai, sang bapak berusaha mengemudikan mobil secepat mungkin namun tetap berhati-hati. Haris mengambil hpnya, ia bermaksud untuk menghubungi Ustadz Ilyas, mengabarkan hal ini namun sayangnya hpnya mati, baterainya habis. Terpaksa ia nanti harus memberitahukan Ustadz Ilyas langsung ketika sudah sampai di rumah sakit.
Keheningan agaknya mengelilingi mereka sepanjang perjalanan itu. Pasangan suami-istri yang berada di depan kelihatan tegang sambil terus berkonsentrasi penuh dengan jalan yang dilalui. Sedangkan di tempat duduk tengah, Fatimah yang sedari tadi masih pingsan ditemani dengan temannya yang juga diam seribu bahasa. Tangannya sesekali mengusapkan tisu ke wajah Fatimah untuk membersihkan darah yang mengalir keluar dari beberapa luka di wajahnya. Dan Haris pun masih bingung merenungi apa yang sedang terjadi ini, ia pun diam tak tahu harus berkata apa. Ia hanya berharap semuanya baik-baik saja.
Perjalanan mereka menuju rumah sakit menghabiskan waktu sekitar 15 menit, ketika sudah tiba di rumah sakit. Fatimah langsung dimasukkan ke dalam ruang UGD ditemani dengan temannya serta pasangan suami istri tadi. Sedangkan Haris, ia langsung berlari secepat mungkin menuju ruangan tempat anaknya Ustadz Ilyas dirawat untuk memberitahukan apa yang terjadi dengan Fatimah.