Cinta Yang Terlupakan
Ardiannur Ar-Royya
5
Malam
itu, seusai shalat isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, Haris pun langsung
tancap gas menuju kosnya Kak Shafy untuk menjemputnya kemudian bersama-sama
menuju rumah sakit Lafalet di tengah kota untuk menjenguk anak Ustadz Ilyas
yang sedang sakit keras terkena demam berdarah. Sebentar saja, ia sudah sampai
di depan kosnya Kak Shafy, dan ternyata beliau sudah siap di depan kosnya
hingga tak lama kemudian mereka berdua berangkat menuju rumah sakit itu.
Sebelumnya Kak Shafy sudah mengirim sms kepada Ustadz Ilyas yang mengabarkan
bahwa mereka berdua akan berkunjung ke tempat beliau, dan alhamdulillah beliau
tidak keberatan.
“Kok
bisa ya kak anak beliau terkena DBD? Padahal kan baru saja beberapa hari yang
lalu kita berkunjung ke rumah Ustadz Ilyas dan melihat anak beliau, si Fikri
baik-baik saja. Bahkan kita sempat bermain-main bersama dia?” tanya Haris yang
kaget sekaligus kebingungan.
“Ya
begitulah dek yang namanya ketentuan Allah. Kita kan ga akan pernah bisa tau
kapan dan apa yang akan terjadi pada kita? Ingat kan kalau manusia itu sangat
lemah, bahkan menentukan dia lahir sebagai laki-laki atau perempuan saja tidak
bisa kan?” jawab Kak Shafy.
“Iya
ya kak, manusia sangat lemah. Tapi anehnya kak ya, manusia yang lemah itu
berani mengingkari hukum dan perintah yang Maha Kuat, bahkan sampai ada yang
berani membuat hukum juga perintah untuk menandingi hukum dan perintah dari
yang Maha Kuat!”
“Itulah
manusia yang kelewat batas menggunakan akal dan apa-apa yang diberikan Allah.
Misalnya saja akal, Allah memberikan manusia akal agar digunakan untuk
menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga manusia bisa membuktikan bahwa
Allah itu ada kemudian mengimaninya. Lha ini? Ada saja manusia yang kelewat
gila menggunakan akalnya, ia berani menentukan wujud Allah itu seperti apa,
malaikat, dls. Bahkan berani mengambil peran dan hak prerogatif Allah untuk
membuat hukum peraturan kehidupan ini!”
“Bener-bener
manusia yang pantas diazab ya kak?”
“Hmmm..
Bisa jadi!”
Tak
terasa perbincangan dengan Kak Shafy telah mengantarkan mereka sampai di depan
rumah sakit Lafalet, tempat anak ustadz Ilyas dirawat. Segera saja Haris
memarkirkan kendaraannya dan kemudian masuk ke dalam rumah sakit itu melalui
pintu masuk utama. Ketika memasuki rumah sakit ini, kesan pertama yang muncul
adalah suasana khas zaman dahulu. Rumah sakit yang didominasi dengan warna
hijau ini bukanlah rumah sakit dengan gedung tinggi serta ada lift di dalamnya.
Bukan! Rumah sakit ini seperti layaknya rumah biasa tanpa lantai bertingkat
namun sangat luas. Haris sempat terkagum dengan desain dari tempat itu, unik
dan juga masih sangat lekat suasana khas zaman dahulu. Dilihatnya orang-orang
berbaju putih lalu-lalang, terlihat sibuk sekali dengan urusan masing-masing.
Ada pula pasien-pasien yang keluar dari kamar rawatnya dan berjalan-jalan di
areal rumah sakit itu. Mungkin sekedar melepas kepenatan dan juga kebosanan
setelah sekian lama berada di dalam kamar rawat.
“Kak,
ruangannya anak Ustadz Ilyas yang mana?” tanya Haris tiba-tiba.
“Katanya
sih di ruangan bernama Bangsal Melati nomor 10 B!”
Sambil
terus berjalan, Haris memperhatikan sekitarnya, dilihat dan dibacanya
tulisan-tulisan yang bertebaran di sekitarnya. Bangsal Mawar, Teratai, Pandan,
dls. Banyak sekali memang tulisan-tulisan di sana. Kemudian tanpa sengaja
matanya menangkap sebuah tulisan yakni Bangsal Melati. Spontan Haris pun
memperingati Kak Shafy dan menunjuk kepada tulisan itu. Kak Shafy paham dan
mereka pun memutar haluan menuju tempat tulisan itu, ketika sampai di sana
ternyata ada begitu banyak bayi yang sedang dirawat sehingga mereka berdua
mengambil kesimpulan bahwa memang inilah tempatnya anak ustadz Ilyas dirawat.
Kak
Shafy mencoba mengirim sms kepada ustadz Ilyas untuk memberitahukan bahwa
mereka berdua sudah berada di depan ruangan yang diberitahukan ustadz Ilyas
kemarin. Lama tak ada balasan dari ustadz Ilyas. Sambil menunggu balasan dari
beliau, Haris sempat memperhatikan bayi-bayi mungil yang kini sedang dirawat
oleh para suster dan juga dokter yang mayoritas memakai baju putih. Wajah
bayi-bayi itu begitu polos dan teduh, juga lucu. Begitu damai mereka tertidur
di inkubatornya walau sesekali ada pula yang terbangun kemudian menangis keras.
Bayi-bayi ini belum tahu bahwa ketika mereka beranjak dewasa nanti, akan ada
begitu banyak virus kufur, pemikiran kufur yang akan menodai kesucian jiwa
mereka untuk beriman kepada penciptaNya.
Ketika
sudah dewasa nanti, mereka akan dihadapkan dengan keadaan ekonomi yang serba
sulit, kemudian fakta akan begitu banyaknya kemiskinan di sekitar mereka akibat
diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang hanya memihak para pemilik modal
dan tidak pernah berpihak kepada rakyat. Kemudian mereka juga akan bertemu dengan
tatanan kehidupan yang serba kacau, mereka akan bertemu dengan tindakan
kriminalitas dimana-mana, kehidupan yang serba bebas seperti layaknya hewan,
aurat wanita murahan yang berhamburan, politik kejam tak berprikemanusiaan yang
hanya mengincar materi, nafsu manusia yang mudah sekali diumbar tak terkendali,
dan bahkan masih banyak lagi yang lainnya. Ya, semua itu tidak lain adalah
penyebab diterapkannya sistem kufur di kehidupan manusia dan sistem kufur itu
bernama Demokrasi yang merupakan anak cucu dari sistem kufur
Kapitalisme-Sekularisme. Begitu memprihatinkan bagi mereka, para anak-anak tak
berdosa ini yang lahir di tengah-tengah diterapkannya sistem kufur ini.
Mungkin, jika mereka bisa menawar kepada penciptaNya untuk tidak lahir di
tengah-tengah sistem kufur yang saat ini sedang merajalela maka tentu mereka
akan melakukannya, namun sayang hal itu tidak bisa terjadi, karena semuanya
sudah ditentukan Allah.
Tiba-tiba
sms dari Ustadz Ilyas tiba, bunyinya
“Waalaikumussalam.
Oh, alhmdllah antm br2 udh smpai. afwn, mhn dtnggu y, ana sdg dlm prjlanan k
sna?”
Kak
Shafy pun menjawab singkat sms itu yang menyatakan bahwa mereka akan menunggu.
Sambil menunggu kedatangan ustadz Ilyas, Haris dan Kak Shafy duduk di sebuah
kursi kayu panjang yang terletak tak jauh dari pintu masuk Bangsal Melati.
“Dek,
gimana dengan perjalanan antum untuk mencari jawaban pertanyaan dari kakak? Apa
sudah sampai pada tempat tujuan dan mendapatkan jawaban?” tanya Kak Shafy
tiba-tiba.
Haris
mengerti apa yang dibicarakan oleh Kak Shafy, pastilah tentang definisi cinta
yang dulu ia tanyakan kepada Kak Shafy namun kemudian Kak Shafy menyuruh Haris
agar mencari jawabannya sendiri.
“Hmmm..
Iya sih kak, ana memang sedang melakukan proses mencari jawaban itu, memang ada
beberapa kejadian yang ana temukan dan alami yang bisa mendefinisikan
jawabannya, tapi ana masih belum yakin dan perlu berbagai pelajaran lagi ke
depannya untuk menyempurnakan jawaban itu.” terang Haris kepada Kak Shafy.
“Oh
begitu, ana mengerti. Semoga secepatnya mendapatkan jawaban yang tepat dan
sudah tentu harus sesuai dengan hukum syara.” jawab Kak Shafy seraya tersenyum
kepada Haris.
“Syukron.
Insya Allah kak.”
Perjalanan
panjang untuk mencari sebuah jawaban, ujungnya memang belum jelas namun cahaya
anggun nan suci bersiaga menyambut di ujung jalan. Jalan yang telah dipilih
oleh keimanan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta. Insya Allah barakah selalu
beriring tak terputus.
“Assalamualaikum!”
sebuah salam mengagetkan mereka.
“Waalaikumussalam.”
jawab mereka berdua hampir bersamaan.
Ternyata
itu adalah Ustadz Ilyas, beliau ternyata sudah tiba.
“Afwan,
sudah lama ya menunggu?” tanya Ustadz Ilyas seraya menyalami mereka berdua.
“Oh
tidak ustadz.” jawab Haris tersenyum.
“Afwan
ya, ana tadi pergi membeli makanan sebentar. Ayo, mari masuk, kita duduk-duduk
di depan kamar anak ana dirawat aja!” ajak Ustadz Ilyas.
Mereka
bertiga pun masuk dan bersama-sama menuju ke teras depan sebuah kamar
bernomorkan 10 B dan duduk bersama di depan kamar tersebut. Di sana juga ada
orang-orang yang sedang duduk dan asyik mengobrol, mungkin mereka juga sedang
menunggui keluarga ataupun teman mereka yang sedang sakit. Sambil duduk, Ustadz
Ilyas menyuguhkan sedikit makanan ringan dan juga minuman air putih berkemasan,
setelah tadi sempat masuk sebentar ke dalam untuk mengantarkan makanan yang
dibelinya kepada istrinya yang sedang menjaga anaknya.
“Gimana
ustadz keadaan Fikri?” tanya Kak Shafy membuka pembicaraan di antara mereka.
“Alhamdulillah
sedikit membaik, setidaknya tidak sekritis kemarin malam. Kemarin istri
benar-benar panik melihat keadaan Fikri, untung ana langsung membawanya ke sini
sehingga bisa langsung mendapatkan perawatan. Dan untungnya ana juga memilih
rumah sakit ini karena pelayanannya lebih cepat dibanding rumah sakit lain.”
jelas ustadz Ilyas.
“Sekarang
lagi tidur ya ustadz?” Haris yang bertanya kemudian.
“Iya,
alhamdulillah bisa tidur dia. Padahal malam tadi dia nangis terus, sampai
umminya sendiri pusing!”
“Terus
kata dokter apa ustadz?”
“Yah,
dia memang terkena demam berdarah dan tingkat trombosit serta leukositnya pun
sangat rendah. Dokter menyuruh ana memberi makan Fikri makanan yang bergizi dan
alami serta jus jambu dan tak lupa air putih. Tentu saja Fikri pun harus banyak
istirahat.”
“Yah,
semoga saja Fikri bisa cepat sembuh.”
“Amien!”
jawab Ustadz Ilyas seraya tersenyum kepada mereka berdua.
Tiba-tiba
pintu kamar rawat tempat anak ustadz Ilyas dirawat terbuka, kemudian keluar lah
dua orang akhwat dari kamar itu. Akhwat yang pertama berjilbab dan berkerudung
merah muda, sedangkan akhwat yang kedua berjilbab merah tua dipadu dengan
kerudung yang juga berwarna senada dengan jilbabnya. Salah satu dari kedua
akhwat itu tidak lah asing bagi Haris, beberapa hari yang lalu ia sempat
bertemu dengannya ketika waktu itu si akhwat sedang berbicara dengan Devi. Ya
benar, dia adalah Fatimah, akhwat yang sempat membuat Haris kagum akan
keteguhannya untuk taat kepada aturan Allah pada pertemuan mereka yang sangat
singkat itu. Dan kali ini, ia bertemu kembali dengannya, namun dalam suasana
yang jauh berbeda dan tak terduga. Haris sendiri bingung, sedang apa ia dan
temannya berada di sini.
“Abi,
Fatimah pulang dulu ya? Soalnya besok ada ujian di kampus, mau belajar dulu. Ga
papa kan bi?” tanya Fatimah sopan kepada Ustadz Ilyas.
Abi?
Seketika itu pula Haris terkejut, ternyata Fatimah adalah anak perempuan dari
ustadz Ilyas. Tapi, kalaupun begitu, kenapa setiap ia mampir ke rumah Ustadz
Ilyas tidak pernah bertemu dengannya. Apa ia jarang berada di rumah?
“Iya
nak, pulang saja. Ga papa kok, insya Allah abi dan ummi sudah cukup untuk
menjaga Fikri di sini. Hati-hati di jalan ya, dan jangan lupa untuk
beristirahat?” jawab Ustadz Ilyas.
Kemudian
mereka berdua pun menyalami ustadz Ilyas dan berjalan pergi menjauhi mereka
bertiga sembari mengucapkan salam yang dijawab serentak oleh mereka bertiga.
Ketika
lewat di depan Haris, Fatimah sempat melihat kepada Haris dan begitupula Haris,
yang membuat mereka justru saling menundukkan pandangannya. Dan kedua akhwat
itu pun menghilang di ujung gang. Rasa penasaran Haris pun membuat ia tidak
bisa membendung pertanyaan yang sedari tadi ingin ia ajukan pada ustadz yang
ada di depannya saat ini.
“Ustadz,
boleh ana bertanya?” kata Haris.
“Mengenai
Fatimah tadi?” agaknya Ustadz Ilyas mengerti kebingungan di diri Haris.
“Iya
ustadz! Afwan, Fatimah itu anak perempuan antum ya ustadz? Tapi kok setiap kali
ana berkunjung ke rumah antum, dia ga pernah ana liat ya? Atau memang dia
jarang di rumah?”
“Iya,
Fatimah memang anak ana. Wajar memang antum tidak pernah melihatnya karena ia
memang tidak tinggal di rumah bersama ana. Ia lebih memilih tinggal di kost
semenjak awal semester tadi.” jelas Ustadz Ilyas.
“Loh
kenapa ustadz?” lanjut Haris penasaran.
“Katanya
dia ingin belajar mandiri dan mencoba mengurus segala macamnya sendiri, masalah
atau apapun itu. Yah, ana berpikir itu tidaklah begitu menjadi masalah karena
memang itu mungkin bisa menjadi yang terbaik baginya. Lagipula, ia tidak
seperti dulu lagi yang jauh bahkan tidak mengenal ajaran Islam. Sekarang, insya
Allah ia telah menjadi seorang muslimah yang turut memperjuangkan kemenangan
syariat Islam dan tegaknya Khilafah Islamiyah di bumi Allah ini. Karenanya, ana
cukup merasa tenang akan dirinya dan percaya kepadanya.” jelas Ustadz Ilyas
panjang lebar.
“Oh
iya ustadz, ana mengerti!”
“Iya
ya ustadz, ana juga bingung dan kaget. Setahu ana ditambah penglihatan dari
beberapa teman di kampus bahwa anak antum itu dulu kalau tidak salah memang
terkesan jauh dari Islam. Bahkan, afwan ustadz, iya terkenal hedonis. Tapi,
semenjak semester tadi ia berubah 180 derajat, entah apa yang terjadi? Ia mulai
memakai jilbab yang benar-benar syar’I, kemudian juga perlahan-lahan
meninggalkan aktivitasnya dahulu, dan masih banyak lagi aktivitas maksiatnya
dulu yang ia tinggalkan. Subhanallah sekali!” kata Kak Shafy tiba-tiba.
“Itulah
namanya hidayah, tidak ada seorang pun yang tahu. Kita hanya bisa mengusahakan
datangnya hidayah itu, perkara Allah mendatangkannya atau tidak, itu semua
adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada seorang pun yang bisa campur tangan. Ana
sendiri awalnya hampir menyerah dengan sifat dan kelakuan dia namun untungnya
ana sadar bahwa ana tidak boleh menyerah dan mundur sedikit pun bahkan hingga
nanti ana kembali kepada Allah. Alhamdulillah ternyata Allah menjawab segala
usaha dan doa kami. Tiba-tiba ia berubah seperti itu, kemudian belajar
istiqamah dan semakin mendekatkan diri kepada Islam, benar-benar nikmat yang
tak ternilai harganya. Syukur kepada Allah yang tak terhingga tentu ana
lantunkan!” jelas Ustadz Ilyas.
Kami
berdua sepakat, memang melihat orang-orang yang kita cintai masuk ke dalam satu
barisan bersama kita untuk memperjuangkan Islam merupakan salah satu nikmat
yang tak ternilai harganya apalagi jika hal itu terjadi melalui usaha kita.
Selain mendapatkan pahala dari Allah yang begitu banyak, kita juga akan
mendapatkan kebahagiaan dengan kebersamaan kita dengan orang yang begitu kita
cintai itu.
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Begitu banyak hal dan ilmu-ilmu
yang didapat dari pembicaraan dengan Ustadz Ilyas. Namun, sudah waktunya untuk
kami berdua pulang, karena besok pun masih banyak amanah dakwah dan kegiatan
yang menunggu. Maka mereka berdua pun berpamitan dengan Ustadz Ilyas untuk
pulang, Ustadz Ilyas begitu berterimakasih akan kedatangan mereka berdua. Tak
lupa, keduanya mendoakan agar Ustadz Ilyas diberikan kesabaran dan tentu saja
semoga Fikri bisa sehat kembali, yang tentu saja langsung diamini oleh Ustadz
Ilyas. Maka mereka pun berpisah yang ditandai dengan jabatan tangan dan ucapan
salam.
Haris
dan Kak Shafy langsung saja menuju tempat parkir dimana kendaraan Haris
diparkirkan. Dan sesaat kemudian, mereka berdua langsung melaju menuju kos Kak
Shafy. Seperti biasa, di perjalanan pun mereka sibuk ngobrol tentang berbagai
macam hal dan lagi-lagi pembicaraan mereka tak terasa telah mengantarkan mereka
berada di sebuah jalan besar yang walau sudah hampir tengah malam namun masih
padat arus lalu-lintasnya. Wajar saja, karena jalan itu merupakan jalan utama
yang sering dilalui oleh mobil-mobil maupun kendaraan yang ingin pergi keluar
kota.
Saat
itu, Haris mengemudikan kendaraannya agak ke samping kiri jalan dekat trotoar
dengan agak lambat, tidak begitu cepat. Kemudian tiba-tiba, di belakang mereka
berdua terdengar suara…
“Ciiittttttttttt….!”
bunyi ban mobil direm mendadak.
“Aaaaaaaaaaa…!”
diiringi oleh teriakan seorang perempuan.
Terang
saja mereka berdua mendengarnya dengan sangat jelas. Seketika itu pula mereka
langsung melihat ke belakang mereka, dan ternyata terjadi kecelakaan tidak jauh
di belakang mereka. Entah kenapa, hati Haris berkata bahwa ia harus
menghentikan perjalanan pulangnya dan melihat kejadian itu. Kak Shafy pun
setuju untuk melihat kecelakaan itu, maka setelah Haris menghentikan
kendaraannya dan meletakkannya di bagian kiri jalan dekat trotoar, mereka
berdua pun langsung berlari menghampiri tempat kejadian. Saat itu orang-orang
yang ada di sekitar tempat itu pun mulai berlari mendatangi sebuah tubuh yang
kini telah terbaring di tengah jalan.
“Ada
apa pak?” tanya Kak Shafy pada seorang bapak-bapak.
“Sepertinya
kecelakaan dek!” jawab bapak itu singkat.
Haris
kemudian langsung pergi berlari mendekati tubuh seorang perempuan yang kini
tengah terbaring pingsan di tengah jalan. Orang-orang pun mulai berkerumun di
sekitar Haris yang kini sudah sampai di dekat tubuh perempuan itu.
Setelah
menekuri sesaat orang yang kini tengah terbaring, ia akhirnya sadar siapa yang
mengalami kecelakaan. Saat itu memang keadaan sekitarnya gelap sehingga perlu
beberapa saat bagi Haris untuk menyadari siapa yang mengalami kecelakaan.
Namun, setelah ia melihat wajahnya yang berlumuran darah dan tengah terbaring,
ia sangat terkejut. Ternyata, ia mengenal orang yang kini tengah mengalami
kecelakaan itu.
Ia
memang adalah seorang perempuan yang baru saja Haris kenal, bahkan baru saja
sesaat tadi ia bertemu dengannya di rumah sakit. Benar, perempuan yang kini
tengah terbaring diam di depannya serta berlumuran darah itu adalah Fatimah.
Jilbab dan kerudung merah mudanya berlumuran darah, wajahnya pun sama. Ia diam,
tak bergerak. Pingsan!
Kemudian
tak jauh dari Fatimah, temannya yang tadi juga bertemu dengan Haris di rumah
sakit juga ada di sana. Ia sedang terduduk sambil meringis kesakitan, untungnya
ia masih sadar dan tidak pingsan seperti Fatimah.
Haris
pun sadar ia harus mengambil sebuah tindakan.
“Tolong
bu!” teriak Haris sambil mengisyaratkan seorang ibu-ibu yang dilihatnya berada
di kerumunan itu untuk mendekatinya dan Fatimah.
“Tolong
bu, dia adalah teman saya. Tolong rawat dia! Tolong ibu-ibu dan perempuan
lainnya juga ikut membantu! Dan tolong dibawa ke trotoar itu terlebih dahulu!”
teriak Haris kepada seluruh kerumunan sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.
Kak
Shafy juga melihat bahwa yang mengalami kecelakaan itu adalah Fatimah dan juga
temannya, tentu saja Kak Shafy mengerti apa yang Haris lakukan dan juga apa
yang harus ia lakukan, ia langsung bertindak.
“Pak-pak,
tolong saya pak untuk mengangkat kendaraannya juga mengatur lalu lintas agar
tidak terjadi kemacetan!” teriak Kak Shafy kepada kerumunan dan orang-orang di
sekitarnya.
Para bapak-bapak
dan laki-laki di tempat itu pun bergegas membantu Kak Shafy untuk mengatur lalu
lintas yang saat itu memang terjadi kemacetan cukup panjang juga mengangkat
kendaraan Fatimah yang kini saat itu berada di tengah jalan. Beberapa dari
bapak-bapak itu ada yang membantu ibu-ibu yang diminta Haris mengurus Fatimah
untuk mengangkatnya ke pinggir jalan dan ada pula yang membantu Kak Shafy
mengatur lalu lintas di sekitar tempat kejadian itu serta mengangkat kendaraan
Fatimah untuk dibawa ke pinggir jalan.
“Ada
yang punya mobil? Ada yang bawa mobil? Tolong siapapun yang membawa mobil,
antarkan dia ke rumah sakit terdekat!” tanya Haris cepat.
“Kami
membawa mobil! Biar antar memakai mobil kami saja!” jawab seorang ibu.
“Dimana
bu mobilnya?”
“Sebentar
diambilkan suami saya dulu, ada di sana!” jawab ibu itu seraya menunjuk ke
tempat dimana mobil itu berada.
Suami
ibu itu pun bergegas berlari menuju tempat mobil berada. Sementara Haris
langsung berlari menuju Kak Shafy kemudian memberikan kunci kendaraannya kepada
Kak Shafy.
“Kak,
ana ke rumah sakit dulu! Sekalian memberikan kabar kepada Ustadz Ilyas! Antum
di sini mengurus yang tersisa ya?” kata Haris dengan tergesa-gesa.
“Ya,
hati-hati!” jawab Kak Shafy singkat, ia mengerti.
Haris
kemudian berlari kembali menuju tempat Fatimah, ternyata ketika itu Fatimah dan
temannya sudah dimasukkan ke dalam mobil. Haris pun juga masuk ke dalam mobil,
dan duduk di tempat duduk paling belakang. Sedangkan Fatimah dibaringkan di
tempat duduk tengah mobil dan kepalanya dipangku oleh temannya yang juga duduk
di sana. Dan ibu tadi duduk di depan, di samping suaminya yang menjadi supir.
Perjalanan
menuju rumah sakit pun dimulai, sang bapak berusaha mengemudikan mobil secepat
mungkin namun tetap berhati-hati. Haris mengambil hpnya, ia bermaksud untuk
menghubungi Ustadz Ilyas, mengabarkan hal ini namun sayangnya hpnya mati,
baterainya habis. Terpaksa ia nanti harus memberitahukan Ustadz Ilyas langsung
ketika sudah sampai di rumah sakit.
Keheningan
agaknya mengelilingi mereka sepanjang perjalanan itu. Pasangan suami-istri yang
berada di depan kelihatan tegang sambil terus berkonsentrasi penuh dengan jalan
yang dilalui. Sedangkan di tempat duduk tengah, Fatimah yang sedari tadi masih
pingsan ditemani dengan temannya yang juga diam seribu bahasa. Tangannya
sesekali mengusapkan tisu ke wajah Fatimah untuk membersihkan darah yang
mengalir keluar dari beberapa luka di wajahnya. Dan Haris pun masih bingung
merenungi apa yang sedang terjadi ini, ia pun diam tak tahu harus berkata apa.
Ia hanya berharap semuanya baik-baik saja.
Perjalanan
mereka menuju rumah sakit menghabiskan waktu sekitar 15 menit, ketika sudah
tiba di rumah sakit. Fatimah langsung dimasukkan ke dalam ruang UGD ditemani
dengan temannya serta pasangan suami istri tadi. Sedangkan Haris, ia langsung
berlari secepat mungkin menuju ruangan tempat anaknya Ustadz Ilyas dirawat
untuk memberitahukan apa yang terjadi dengan Fatimah.